Laman

Senin, 20 Februari 2012

Imam Husain dan Air di Karbala




Imam Husein as sebagaimana kakek dan ayahnya tidak mempergunakan air sebagai senjata. Lebih dari itu, oleh beliau, air dipakai sebagai alat untuk menunjukkan wajah Islam yang sebenarnya dan bagaimana hubungan antar sesama muslim. Ketika Imam Husein as dan sahabat-sahabatnya ditemui oleh pasukan yang dipimpin oleh Hurr bin Riyahi, beliau memerintahkan pasukannya untuk memberikan air yang masih mereka miliki. Hal itu dilakukannya setelah melihat bagaimana pasukan Hurr begitu kehausan. Bahkan dalam sebuah riwayat disebutkan, Imam Husein as dengan tangannya sendiri memberi mereka minum.



Pendahuluan
Peristiwa Karbala, air dan kehausan merupakan hal yang paling menonjol. Penekanan terhadap air dan rasa haus membuat banyak hal-hal yang ditafsirkan dengan masalah ini. Percakapan yang terjadi antara kedua pasukan yang berhadap-hadapan juga banyak membicarakan masalah air. Air membentuk citra keteraniayaan Imam Husein as dan betapa kejamnya musuhnya. 


Pentingnya masalah air tidak hanya terbatas pada kejadian sepuluh bulan Muharam. Masalah air dapat ditelusuri jauh sebelum hari kesepuluh, hingga terjadi pembantaian itu. Bahkan bila ingin ditarik lebih jauh lagi, Muslim bin Aqil, berdasarkan sebuah riwayat, dalam perjalanannya dari Madinah ke Kufah, dua pengawalnya mati karena kehausan setelah tersesat beberapa lama.[1] Muslim bin Aqil telah sampai ke Kufah. Dalam kondisi terluka dan tertangkap. Di istana Dar al-Hukumah ia menghembuskan nafas terakhirnya, sekalipun tempat air telah diberikan kepadanya. Hal itu dikarenakan ia banyak mengeluarkan darah dari mulutnya membuat ia tidak sempat lagi merasakan sejuknya air untuk terakhir kalinya. Akhirnya ia dengan bibir kering menjemput kesyahidannya.[2]


Menjemput syahadah dengan bibir kering memang membuat sedih dan trenyuh hati siapa yang mendengarnya.


Demikian juga dalam acara memperingati Asyura, banyak sair-sair yang dibacakan mengenai peristiwa Karbala berkaitan dengan air dan kehausan. Berdasarkan ini, saya berusaha dalam artikel pendek ini, dengan berlandaskan sumber-sumber tepercaya, untuk mengkaji lebih lanjut mengenai masalah air dan kehausan yang dialami oleh Imam Husein as dan sahabat-sahabatnya. Sebelum masuk pada masalah, ada satu poin penting yang perlu saya ingatkan bahwa dengan berlandaskan pada sumber-sumber yang ada. Imam Husein as dan sahabat-sahabatnya berusaha untuk mencari air buat keluarganya di tengah kehausan yang hebat mendera. Mereka berusaha untuk menenangkan para sahabat dan keluarganya untuk meningkatkan semangat dalam menghadapi musuh.


Air sebagai senjata
Menakjubkan! Manusia sepanjang sejarah menganggap air sebagai benda berharga yang berperan melestarikan kehidupan makhluk hidup. Air membuat manusia gembira, damai dan tenang. Namun, air juga dipakai untuk membunuh manusia dan menghancurkan sebuah komunitas. Air dipakai sebagai senjata untuk membuat jutaan manusia menderita kehausan dan mati. Air mengubah kehidupan menjadi kematian. Dengan ini, bukan hal yang aneh bila air dipakai untuk memusnahkan Islam dan kaum muslimin.


Para pemberontak pada tahun 35 Hijriah mengepung rumah Khalifah Utsman bin Affan. Mereka berusaha untuk mencegah Utsman untuk mendapatkan air. Imam Ali as berusaha sekuat tenaga agar Utsman dapat meminum air. Untuk itu diutuslah kedua anaknya; Hasan dan Husein untuk mengantarkan air kepada Utsman.[3] Muawiyah yang masih memiliki permusuhan dengan Islam sejak zaman Jahiliah pada perang Shiffin juga berusaha untuk menggunakan air sebagai senjata untuk melawan pasukan Imam Ali as. Namun, ia terlambat untuk menguasai sumber air. Imam Ali as dengan pasukannya telah terlebih dahulu menguasainya. Imam Ali as tidak melarang pasukan Muawiyah untuk memanfaatkan air yang berada dalam kekuasaannya.[4]


Imam Husein as sebagaimana kakek dan ayahnya tidak mempergunakan air sebagai senjata. Lebih dari itu, oleh beliau, air dipakai sebagai alat untuk menunjukkan wajah Islam yang sebenarnya dan bagaimana hubungan antar sesama muslim. Ketika Imam Husein as dan sahabat-sahabatnya ditemui oleh pasukan yang dipimpin oleh Hurr bin Riyahi, beliau memerintahkan pasukannya untuk memberikan air yang masih mereka miliki. Hal itu dilakukannya setelah melihat bagaimana pasukan Hurr begitu kehausan. Bahkan dalam sebuah riwayat disebutkan, Imam Husein as dengan tangannya sendiri memberi mereka minum.[5]


Hal ini berbeda seratus delapan puluh derajat ketika mereka diperintah untuk menghabisi Imam Husein as beserta para sahabatnya. Musuh mempergunakan air untuk menekan pasukan Imam Husein as. Ubaidillah bin Ziyad ketika mengirimkan pesan kepada Hurr memerintahkan agar mereka menggiring Imam Husein as dan rombongan ke padang pasir. Tempat di mana mereka tidak dapat berteduh dan tidak terdapat sumber air.[6]


Sesaat ketika Imam Husein as dan rombongan tiba di tanah Karbala, Umar bin Saad mendapat perintah dari Ubaidilah bin Ziyad untuk menghalang-halangi Imam Husein as dan rombongan untuk mendapatkan air. Sekaitan dengan ini, Abu Hanifah Dinwari menulis:


“Ibn Ziyad menulis surat kepada Umar bin Saad yang isinya memerintahkannya untuk menghalang-halangi Imam Husein as mendapatkan air. Bahkan lebih dari itu, jangan sampai mereka dapat minum air barang seteguk pun. Hal yang sama telah dilakukan terhadap Utsman bin Affan”.[7]


Mendapat perintah itu, Umar bin Saad segera menempatkan Amr bin Hajjaj Zubaidi untuk melakukan tugas ini disertai 500 pasukan berkuda. Pasukan penjaga air ini mulai dari hari ketujuh hingga hari kesepuluh secara serius menjaga pinggiran sungai Furat. Tujuannya adalah jangan sampai Imam Husein as dan rombongan dapat memanfaatkan air.[8] Mereka tidak hanya bertugas menghalang-halangi Imam Husein as dan rombongannya untuk dapat sampai ke sumber air, tapi juga melancarkan perang urat syaraf. Sebagai contoh, Abdullah bin Hashin al-Azdi dari kabilah Bujailah berteriak: “Wahai Husein! Apakah engkau melihat air ini? Bentuknya bak langit yang biru jernih. Engkau tidak akan merasakan seteguk pun dari air ini sampai engkau mampus!”[9] Syimr juga termasuk salah satu dari mereka yang mengolok-olok Imam Husein as dan rombongannya.[10]


Sebenarnya, Umar bin Saad tidak hanya menempatkan Amr bin Hajjaj sebagai komandan pasukan penjaga air. Ia memang menugaskan seseorang secara khusus untuk berteriak: “Wahai anak Fathimah dan Rasulullah! Engkau tidak akan mencicipi air ini sebelum kepalamu lepas dari badan atau menyerah dan ikut dengan perintah Ubaidillah bin Ziyad.”[11]


Dengan melihat dialog-dialog dan kejadian di atas, dapat disimpulkan beberapa poin penting sekaitan dengan tujuan musuh menghalangi Imam Husein as untuk mendapatkan air barang seteguk:


1. Air merupakan salah satu senjata yang dipakai, selain senjata yang sudah dikenal selama ini. Harapannya, dengan menghalangi akses Imam Husein as untuk mendapatkan air, tekanan terhadap mereka lebih kuat dan kekuatan pasukan menjadi lemah. Dengan demikian perlawanan tidak banyak berarti.


2. Adanya anak-anak dan wanita dalam rombongan dapat melemahkan kekuatan pasukan Imam Husein as. Dalam perhitungan mereka, wanita dan anak-anak tidak mampu bertahan lama dari rasa haus. Dengan ini, pasukan Imam Husein as bakal menyerah.


3. Dialog-dialog di atas menunjukkan bahwa Bani Umayyah masih belum puas dengan usaha mereka sebelumnya. Mereka kembali mengulangi tragedi Utsman bin Affan yang dikepung dan tidak diberi air. Mengungkapkan kembali kejadian itu ingin menunjukkan bahwa Imam Husein as adalah penyebab terbunuhnya Utsman bin Affan. Kehausan Utsman ketika menjelang ajalnya dijadikan alasan untuk mencegah Imam Husein as dan rombongan untuk mendapatkan seteguk air.


Usaha Imam Husein as untuk mendapatkan air
Usaha musuh untuk menghalang-halangi Imam Husein as mendapatkan air merupakan sebuah hakikat yang tidak saja diakui oleh sejarawan. Kenyataan ini juga ditegaskan oleh Imam Mahdi af. Dalam doa ziarah Nahiyah Muqaddasah dari beliau diriwayatkan: “Mereka menghalangimu dari usaha untuk mendapatkan air demi menghilangkan dahagamu”.


Satu hal yang disepakati oleh semua sejarawan, mulai dari hari ketujuh bulan Muharam, musuh secara serius berusaha untuk menghalang-halangi Imam Husein mendapatkan air. Dengan demikian, rasa haus yang mendera Imam Husein as dan sahabat-sahabatnya terutama wanita dan anak-anak hanya berhubungan dengan tiga hari terakhir, hari ketujuh hingga hari kesepuluh. Pada hari-hari itulah Imam Husein as berusaha untuk mendapatkan air demi rombongannya, terutama anak-anak dan para wanita. 


Berdasarkan riwayat Ibn ‘Atsam al-Kufi dan Ibn Syahr Asub disebutkan bahwa Imam Husein as berusaha menggali sumur di depan kemah. Dari sumur tersebut bersumber air yang jernih.[12] Ibn ‘Atsam menjelaskan lebih lanjut: 


“Karena rasa haus yang sudah tidak terkira menguasai dirinya dan rombongannya, Imam Husein as mulai menggali sumur. Sumur itu tepat di samping kemah para wanita. Dari samping kemah wanita beliau sambil menghadap Ka’bah sekitar 19 langkah beliau menjauh. Di situlah Imam Husein as menggali sumur. Dari sumur tersebut keluar air yang jernih dan tawar. Beliau memerintahkan kepada sahabat-sahabatnya untuk mengambil air dari sumur dan minum. Mereka memenuhi tempat-tempat air yang dibawa. Setelah semua memenuhi tempat airnya dan minum sampai hilang dahaganya, air kemudian tidak muncul lagi bak tertelan bumi. Setelah itu sumur tersebut tidak lagi terlihat.”[13]


Penggalian sumur yang dilakukan oleh Imam Husein as adalah hal yang biasa. Apalagi bila hal itu dikaitkan dengan posisinya sebagai Imam. Sumur yang memancarkan air bersih, jernih dan tawar. Ditambahkan lagi dengan adanya riwayat yang menyebutkan bahwa pada masa itu, antara Imam Husein as dan kejernihan air dan berkahnya memiliki hubungan yang sangat erat dan bermakna. Berdasarkan riwayat dari Ibn ‘Asakir, Imam Husein as ketika berangkat dari Madinah menuju kota Makkah, di pertengahan jalan mereka berpapasan dengan Abdullah bin Muthi’. Saat itu, Abdullah bin Muthi’ sedang menggali sumur. Kepada Imam Husein as Ibn Muthi’ berkata: “Sumur yang saya gali ini dapat menyampaikan saya ke air. Saat ini kami sangat membutuhkan air dan itu akan kami lakukan dengan timba. Sudikah engkau berdoa agar Allah memberkahi sumur ini? Imam Husein as menjawab: “Bawakan aku air dari sumur ini! Ibn Muthi’ kemudian membawa dan memberikannya kepada Imam Husein as. Beliau minum dan kemudian berkumur-kumur dengannya. Air yang tersisa kemudian dituangkan ke dalam sumur. Setelah itu, sumur menjadi penuh, tawar dan jernih”.[14]


Masalah ini tidak hanya dilakukan oleh Imam Husein as, tapi juga pernah dilakukan oleh Imam yang lain. Hal itu dikuatkan oleh Syaikh Shaduq dan Ibn Syahr Asub dari Abu as-Shalt. Abu as-Shalt meriwayatkan: “Ketika Imam Ridha as dipaksa menghadap Ma’mun. Karena telah melewati perjalanan jauh, mereka berkata kepada Imam Ridha as: “Wahai Ibnu Rasulillah! Telah masuk waktu zuhur. Apakah engkau tidak ingin melakukan salat? Imam Ridha as kemudian turun dari tunggangannya dan meminta air untuk melakukan wudu. Mereka menjawab: “Kami tidak membawa air”. Akhirnya beliau menyingsingkan tangannya kemudian mulai menggali sumur. Dari sumur tersebut memancar air jernih. Mereka yang hadir bersamanya waktu itu kemudian mengambil air wudu. Saat ini sumber air itu masih ada”.[15]


Ringkasnya, saat Imam Husein as menyaksikan bagaimana musuh tidak mengizinkan mereka untuk mendapatkan air, beliau kemudian menggali sumur untuk mendapatkan air. Apa yang dilakukan oleh Imam Husein as ini terlihat oleh pasukan musuh. Segera mereka melaporkan kepada Ubaidillah bin Ziyad apa yang dilakukan oleh Imam Husein as. Ubaidillah kemudian menulis surat kepada Umar bin Saad yang isinya, “Saya mendapatkan kabar bahwa Husein dan sahabat-sahabatnya menggali sumur dan mendapat air dari sana. Engkau tidak boleh membiarkan hal ini terjadi. Bila engkau telah membaca surat ini, segera berusaha bagaimana caranya agar mereka tidak dapat memanfaatkan sumur itu”.[16]


Sekaitan dengan surat itu, tidak ada data sejarah yang mencatat mengenai usaha Umar bin Saad untuk menghalang-halangi Imam Husein as untuk memanfaatkan sumur itu. Apalagi usahanya untuk menutup sumur tersebut. Sebaliknya, kita punya data bagaimana 30 orang berkuda dan 20 orang pejalan kaki dari rombongannya yang dipimpin oleh saudaranya Abbas untuk mengambil air dari sungai Furat. Usaha itu mengakibatkan timbulnya bentrokan bersenjata. Akhirnya pasukan Imam Husein as berhasil mengisi 20 tempat air mereka dan membawanya pulang.[17] Atas dasar ini, tidak jelas nasib sumur yang disebutkan itu. Riwayat yang dilukiskan oleh Ibn ‘Atsam al-Kufi bahwa sumur itu kemudian lenyap begitu saja tidak dapat dijadikan pegangan.


Benar, menggali sumur bagi Imam Husein as dan sahabat-sahabatnya bukan masalah sulit. Mereka dengan waktu singkat dapat menggali parit yang cukup lebar di sekeliling kemah yang ada.[18] Di sisi lain, ada riwayat yang menceritakan bagaimana Imam Husein as dan sahabat-sahabatnya pada pagi hari Asyura (hari kesepuluh bulan Muharam), mereka sempat membersihkan dirinya (mandi) dengan mencukur bulu badan.[19] Riwayat ini menunjukkan bahwa sampai pagi hari Asyura Imam Husein as dan rombongan masih memiliki air yang cukup. Karena bila air mereka tidak cukup, maka mereka tidak akan membersihkan badan dengan air. Artinya, mereka tidak mungkin membiarkan anak-anak dan wanita dalam kondisi tidak memiliki air. Namun, akibat dari penjagaan musuh atas air sungai Furat perlahan-lahan mengakibatkan persediaan air menipis bahkan habis. Terutama bagi anak-anak dan wanita.


Melihat kondisi anak-anak dan wanita yang mulai kehausan, sebagian dari sahabat Imam Husein as dengan suara lantang memprotes sikap pasukan musuh. Membawakan contoh dari ucapan salah satu dari sahabat Imam Husein as, dapat menjelaskan bagaimana Imam Husein as dan rombongannya berada dalam kondisi yang berat dan sulit. Hurr dan Burair bin Hadir Hamadani berteriak kepada pasukan musuh: “Kalian mencegah wanita dan anak-anak untuk mendapatkan air dari sungai Furat. Sementara pada saat yang sama kalian membiarkan anjing dan babi bermain-main di sana. Kaum Majusi dan Kristen dengan bebas dapat mengambil air dan meminumnya”.[20]


Sebagaimana telah disebutkan di muka, bahwa saya tidak punya informasi mengenai nasib sumur yang digali di depan kemah. Di sisi lain, usaha Imam Husein as bersama sahabatnya berusaha keras, terutama Abbas, untuk mendapatkan air. Di saat yang sama, rasa haus yang mendera rombongan dan keluarganya memberikan kejelasan bahwa sekalipun masih ada sedikit air di kemah, namun tidak ada lagi berita tentang adanya sumur. Bila kita masih bersikeras untuk menerima berita yang dinukil oleh Ibn ‘Atsir al-Kufi, karena tidak adanya data lain, maka itu hanya dapat diterima dengan mengatakan bahwa hal itu merupakan keramat Imam Husein as atau ujian bagi rombongan dan keluarga beliau.


Yang jelas, Imam Husein as dan sahabat-sahabanya yang sibuk menghadapi serbuan musuh dari segala arah pada hari Asyura, membuat mereka memerlukan air lebih banyak. Dan pada saat yang sama, mereka tidak mampu mendapatkan air. Kondisi ini dapat menggambarkan bagaimana mereka menghadapi situasi yang sangat sulit. Pada kondisi seperti ini, kemungkinan besar mereka akan memberikan sisa air mereka untuk anak-anak dan wanita. Itulah mengapa mereka menahan dirinya untuk tidak minum dan memberikannya kepada wanita dan anak-anak dan menjemput ajalnya dengan kehausan. 


Berdasarkan riwayat Ibn Syahr Asub, Ali Akbar yang berperang dengan gagah berani menghadapi musuh, ketika rasa haus semakin menyengatnya balik menuju ayahnya, Imam Husein as, untuk meminta seteguk air. Imam Husein as hanya dapat berkata: “Engkau akan mendapatkan air langsung dari tangan kakekmu Muhammad saw”.[21] Ibnu Syahr Asub menambahkan, “Abbas saudara Imam Husein as diperintahkan oleh kakaknya untuk mengambil air di sungai Furat. Akan tetapi hasilnya adalah syahadah. Musuh memotong kedua tangannya dan sambil ditegakkan dengan besi ia dibunuh. Dalam kejadian ini pun tidak disebutkan apakah ia berhasil membawa air atau tidak.[22] Dalam riwayat lain, Ibn Syahr Asub menukil, “Imam Husein as menangis di antara kemah dan sungai Furat. Ia menangisi mayat Abbas dan keluarganya yang sedang menderita kehausan”.[23]


Kita dapat melihat dalam penukilan Abu Hanifah Dinwari: “Pada saat-saat terakhir karena merasa sangat haus meminta tempat air untuk minum. Ketika tempat air telah dekat ke mulutnya, Hashin bin Namir, melepaskan panah tepat mengenai mulut Imam Husein as. Beliau tidak sempat meneguk air. Lalu tempat air dibiarkan”.[24] Hadis itu menunjukkan bahwa di kemah masih ada sisa air. Di mana sisa dari air itu diberikan kepada Imam Husein as. Karena jelas masalahnya bahwa tidak mungkin musuh yang memberinya air.


Majlisi menceritakan dalam bukunya, “Ketika Abbas telah mendapat izin dari saudaranya Imam Husein as untuk berperang, Imam meminta darinya untuk mengambil sedikit air untuk anak-anak. Abbas sendiri mendengar suara anak-anak yang merintih karena kehausan. Suara rintihan anak-anak menunjukkan bagaimana persediaan air telah habis. Berdasarkan penukilan Majlisi juga dapat disimpulkan bahwa Abbas tidak berhasil membawa air.[25] Poin penting lainnya dari riwayat ini adalah Imam Husein as hingga detik-detik terakhir tidak melepaskan perhatiannya dari penjaga air. Menurut riwayat Mufid, “Imam Husein dan Abbas bersama-sama menuju Furat dan menyerang para penjaga air. Dalam bentrokan bersenjata itu, Imam terluka di dagunya, sementara Abbas mereguk cawan syahadah”.[26] Abu Mikhnaf juga memberikan penjelasan bagaimana Imam Husein as berhasil menyerang pasukan penjaga air sungai Furat. Beliau berhasil mencapai tepi sungai. Pada saat ketika beliau hendak meminum air, ada yang sengaja berteriak bahwa kemah diserang. Mendengar itu, Imam Husein as tidak sempat untuk minum dan segera kembali.[27] 


Dengan melihat penukilan yang dilakukan oleh para sejarawan Islam, menunjukkan bahwa Imam Husein as dan sahabat-sahabatnya tetap berusaha untuk mendapatkan air bagi anak-anak dan wanita. Dengan ini diharapkan tekanan musuh dapat dikurangi.


Ada satu masalah yang perlu untuk dijelaskan. Dalam peristiwa Karbala, tidak ada satu sumber sejarah pun yang menyebutkan bahwa Imam Husein as menggendong bayinya menghadap barisan pasukan musuh sambil meminta air. Menurut data sejarah yang dapat dipertanggungjawabkan adalah beliau menggendong bayinya untuk mengucapkan perpisahan. Saat itu ada yang memanah dan tepat mengenai bayi yang mati seketika. Abu Hanifah Dinwari menulis: “Pada detik-detik terakhir, Imam Husein as tinggal seorang diri berperang melawan musuh. Beliau meminta bayinya untuk digendong. Seorang tentara musuh dari Bani Asad menarik anak panahnya dan melesakkannya tepat mengenai bayi Imam Husein as. Bayinya, Ali Ashgar syahid seketika dalam pelukan ayahnya”.[28] Sejarawan lain juga menukilkan kejadian yang serupa dengan sedikit perbedaan dalam lafaznya.[29]


Kesimpulan
Pasukan Yazid bin Muawiyah yang dipimpin oleh Umar bin Saad mempergunakan air sebagai senjata untuk menekan Imam Husein as dan rombongan untuk menyerah. Namun, usaha itu tidak berhasil karena usaha Imam Husein as dan sahabat-sahabatnya tidak pernah berhenti untuk mengusahakan air. Begitu juga anak-anak dan wanita yang menunjukkan kesabaran yang luar biasa menghadapi kondisi yang sulit ini. Semangat ini yang membuat Imam Husein as dan rombongan hingga detik-detik terakhir tidak menyerah. Dengan menahan rasa haus yang sangat Imam Husein as dan sahabat-sahabatnya bertahan dan berperang dengan gigih. Ini jugalah yang sempat membuat kebingungan musuh. [Saleh Lapadi]




Rujukan:


________________________________________
[1] . Mufid, Muhammad bin Nu’man, al-Irsyad, diterjemahkan oleh Sayyid Hasyim Rasuli Mahallati, Entesharate Elmiyeh Eslamiyeh, cetakan ke -2, tanpa tahun, jilid 2, hal 37. Allamah Najisi, Muhammad Baqir, Teheran, 1385, jilid 44, hal 335.
[2] . Ibid, jilid 2, hal 61. Mas’udi, Abu al-Hasan Ali bin Husein, Muruj az-Dzahab wa Ma’adin al-Jawahir, Teheran, 1360, jilid 2, hal 63.
[3] . Thabari, Muhammad bin Jari, Tarikh Thabari, jilid 6, hal 2247. Ibn Atsir, Izzuddin Ali, al-Kamil fi at-Tarikh, jilid 3, tahun 35, hal 278. Mas’udi, ibid, jilid 2, hal 701. Miskawaih ar-Razi, Abu Ali, Tajarib al-Umam, Teheran, jilid 1, hal 414.
[4] . Nashr bin Muzahim Nanari, Peikar Seffin, 1366, hal 219-222. Ya’qubi, Ahmad bin Abi Ya’qub, Tarikh Ya’qubi, jilid 2, hal 88-89. Dinwari Abu Hanifah, Ahmad bin Daud, Akbar at-Thiwal, Teheran, 1366, hal 208-210. Ibn Thaba’thaba, Muhammad bin Ali, Tarikh Fakhri, hal 122-123.
[5] . Thabari, ibid, jilid 7, hal 2990. Mufid, ibid, jilid 1, hal 79. Ibn Atsir, ibid, jilid 5, hal 149.
[6] Thabari, ibid, jilid 7, hal 3000-3001. Ibn Atsir, ibid, jilid 5, hal 156. Baladzri, Ahmad bin Yahya bin Jabir, Ansab al-Asyraf, Beirut, 1997, jilid 2, hal 176. Ibn Syahr Asub, Manaqib Aalu Abi Thalib, tanpa tahun, jilid 4, hal 96. Mufid, ibid, jilid 2, hal 84-85.
[7] . Ibid, hal 301.
[8] . Ibn ‘Atsam al-Kufi, Abu Muhammad bin Ahmad bin Ali, al-Futuh, Teheran, 1372, hal 887. Abu Hanifah Dinwari, ibid, hal 301. Ibn Atsir, ibid jilid 5, hal 185. Ibn Syahr Asub, ibid, jilid 4, hal 97. Thabari, ibid, jilid 7, hal 3006, Mufid, ibid, jilid 2, hal 88.
[9] . Ibn Atsir, ibid, jilid 5, hal 158. Thabari, ibid, jilid 7, hal 3006. Baladzri, idem jilid 2 dan 3, hal 118. Abu al-Futuh al-Ishfahani, Maqatil at-Thalibin, tanpa tahun, hal 118. Mufid, ibid, jilid 2, hal88.
[10] . Abu al-Futuh, ibid, hal 118. al-Majlisi, ibid, jilid 45, hal 51-52.
[11] . Ibn ‘Atsam al-Kufi, ibid, hal 83.
[12] . Ibn Syahr Asub, ibid, jilid 4, hal 50. Ibn ‘Atsam al-Kufi, ibid, hal 893.
[13] . Ibid, hal 893. Al-Majlisi, ibid, jilid 44, hal 337.
[14] . Ibn ‘Asakir, Tarjamah Raihanah Rasulullah al-Imam Mahdi Fi Sabilillah al-Husein bin Ali bin Abi Thalib Min Tarikh Madinah Dimasyq, Beirut, 1978, hal 155. Az-Dzahabi, Tarikh al-Islam Wafayat al-Masyahir Wa al-‘Alam, Beirut, 1990, jilid 5, hal 8.
[15] . Qommi, Syaikh Abbas, Muntaha al-Amal, 1368, hal 894.
[16] . Ibn ‘Atsam al-Kufi, ibid, hal 893.
[17] . Thabari, ibid, jilid 7, hal 3006-3007. Ibn Atsir, ibid, jilid 5, hal 159. Ibn ‘Atsam al-Kufi, ibid, hal 894. Abu al-Futuh al-Ishfahani, ibid, hal 119. BAladzri, ibid, jilid 2, juz 3, hal 181. Dinwari, ibid, hal 301-302. Al-Majlisi, ibid, jilid 44, hal 338.
[18] . Al-Majlisi, ibid, jilid 45, hal 4.
[19] . Thabari, ibid, jilid 7, hal 3021. Ibn Atsir, jilid 5, hal 167.
[20] . Thabari, ibid, jilid 7, hal 3029. Ibn Atsir, ibid, jilid 5, hal 173. Baladzri, ibid, jilid 2, juz 3, hal 189. Ibn ‘Atsam al-Kufi, ibid, hal 902. Mufid, ibid, jilid 2, hal 104.
[21] .Ibn Syahr Asub, ibid, jilid 4, hal 109. Ibn ‘Atsam al-Kufi, ibid, hal 907. Al-Majlisi, ibid, jilid 44, hal 321.
[22] . Ibid, jilid 4, hal 108.
[23] . Ibid, jilid 4, hal 108.
[24] . Abu Hanifah Dinwari, ibid, hal 304.
[25] . Al-Majlisi, ibid, jilid 45, hal 41.
[26] . Mufid, ibid, jilid 2, hal 113-114. Baladzari, jilid 2, juz 3, hal 201. Al-Majlisi, ibid, jilid 45, hal 50.
[27] . Ibn Syahr Asub, ibid, jilid 4, hal 58. Al-Majlisi, ibid, 45, hal 51.
[28] . Abu Hanifah Dinwari, ibid, hal 308.
[29] . Ibn Syahr Asub, ibid, jilid 4, hal 109. Ibn ‘Atsam al-Kufi, hal 908. Ibn Atsir, ibid, jilid 5, hal 186. Thabari, ibid, jilid 7, hal 3055. Mufid, ibid, jilid 2, hal 112. Baladzri, ibid, jilid 2, juz 3, hal 201. Qommi, Syaikh Abbas, Naf sal-Mahmum Nafatsah al-Mashdur, tanpa tahun, hal 161-162.

Tidak ada komentar: