Laman

Senin, 20 Februari 2012

INTEGRASI ILMU DAN AGAMA Perspektif Filsafat Mulla Shadra*





INTEGRASI ILMU DAN AGAMA
Perspektif Filsafat Mulla Shadra*

Dr. Arqom Kuswanjono


HUBUNGAN ilmu dan agama, baik dalam ranah ontologis, epistemologis maupun ontologis selalu menyisakan persoalan yang tidak pernah  selesai dibicarakan. Berawal dari temuan Copernicus (1473-1543) yang kemudian diperkuat oleh Galileo Galilei (1564-1642) tentang struktur alam semesta yang heliosentris (matahari sebagai pusat tata surya) berhadapan dengan gereja yang geosentris (bumi sebagai pusat tata surya), telah melahirkan ketegangan antara ilmu dan agama. Penerimaan atas kebenaran ilmu dan agama menjadi satu pilihan yang dilematis.

Di Inggris pada tahun 1870 dalam satu kuliah umum Max Muller telah mengejutkan audiensnya ketika ia mempromosikan apa yang ia sebut sebagai ilmu agama (science of religion). Satu kombinasi yang pada saat itu dianggap aneh karena pasca Origin of Species-nya Darwin, kebenaran ilmu dan agama semakin tidak dapat dipertemukan. Yang satu meyakini bahwa alam semesta terjadi karena diciptakan langsung oleh Tuhan (kreasionisme) dan yang lain menganggap alam semesta semata-mata merupakan proses alamiah yang sangat panjang.

Di Indonesia, dikotomi ilmu dan agama ini dapat dilihat pada dua corak pendidikan, penddikan ala  IAIN yang menekankan pada pendidikan agama dan ala perguruan tinggi umum yang lebih mengembangkan keilmuan ‘sekuler’, idealitas hubungan keduanya digambarkan oleh Damardjati Supadjar dengan istilah keterpaduan masjid dan kampus.

Dewasa ini, persoalan hubungan ilmu dan agama lebih mengemuka dalam ranah etis. Teknologi sebagai anak kandung ilmu dianggap telah menghasilkan dampak negatif bagi kelestarian alam semesta, baik berupa pencemaran lingkungan, bencana alam maupun pada kerusakan moralitas manusia. Belum lagi ketika bidang kedokteran menemukan teknologi cloning dan berbagai rekayasa genetika yang hendak diterapkan pada manusia. Namun demikian, persoalan dalam ranah etis ini tidak berdiri sendiri, karena tentu ada persoalan epistemologis dan ontologis yang berada dibelakangnya.

Tulisan ini berusaha menjawab hubungan ilmu dan agama melalui pendekatan filosofis, karena menurut pendapat penulis, filsafatlah yang secara netral dan proporsional dapat menjembatani sekaligus mempertemukan dua domain ini. Tulisan ini akan memjawab dua pertanyaan pokok: 1) bagaimana konsep hubungan ilmu dan agama ini dibicarakan secara akademik, dan 2) bagaimana hakikat integrasi ilmu dan agama baik dalam ranah ontologis, epistemologis, dan aksilogis.
Dalam mengeksplorasi hubungan ilmu dan agama ini, penulis menggunakan pandangan-pandangan seorang pemikir Islam kelahiran Persia, yaitu Mulla Shadra (1572-1641), sebagai suatu perspektif. Hussein Nasr menilai bahwa Mulla Shadra secara cemerlang telah menghidupkan kembali filsafat Islam setelah dianggap mati bersamaan dengan meninggalnya Ibnu Rusyd. Mulla Shadra secara harmonis telah merangkum beragam corak pemikiran yang berkembang di dunia Islam, yaitu Filsafat Paripatetik (masysya’i) Islam dari Ibnu Sina, iluminasionisme (teosofi isyraqi) dari Syuhrawardi, ajaran tasawuf dari Ibnu ‘Arabi, dan teologi Islam (kalam) termasuk sabda Rasulullah dan para imam Syi’ah. Karena itu, pemikirannya dikenal sebagai Al-Hikmah Al-Muta’aliyah (hikmah yang tertinggi), seringkali disebut juga sebagai hikmah yang ketiga setelah Al-Hikmah Al-Masysya’iyyah dari Ibnu Sina dan Al-Hikmah Al-Isyraqiyyah Syuhrawardi.

Refleksi awal tentang pemikiran Mulla Shadra dapat dikemukakan bahwa ia menempatkan ilmu dan agama tidak dalam posisi “konflik”, keduanya mempunyai tolak ukur kebenaran sendiri tetapi kebenaran yang diperoleh tidaklah saling bertentangan. Metode yang di gunakan untuk menemukan kebenaran ilmu dan agama bersifat kooperatif-saling mendukung. Ini terlihat dari pandangannya yang tidak menolak rasio dan empiris sebagai sarana untuk memperoleh kebenaran, disamping ia juga menambahkan metode sufistik untuk mencapai kebenaran hakiki. Mulla Shadra melakukan sintesis terhadap sumber pengetahuan yang meliputi iluminasi intelektual (kasyf, zauq atau isyraq), penalaran atau pembuktian rasional (‘aql, burhan, atau istidlal) dan agama atau wahyu (syar’ atau wahy).

Kebenaran ilmu dan agama dianalogikan sebagaimana sinar yang ‘satu’ yang menyinari suatu ruangan yang memiliki jendela dengan beragam warna. Setiap jendela akan memancarkan warna yang bermacam-macam sesuai dengan warna kacanya. Demikianlah ia menggambarkan bahwa kebenaran berasal dari Yang Satu, dan tampak muncul beragam kebenaran tergantung sejauh mana manusia mampu menangkap kebenaran itu. Kebenaran yang ditangkap ilmuwan hanyalah sebagian yang mampu ditangkap dari kebanaran Tuhan, demikian pula kebenaran yang ditangkap oleh agamawan. Dengan demikian, kebenaran yang ditangkap ilmuwan dan agamawan bersifat komplementer, saling melengkapi.

Mulla Shadra adalah tokoh yang hidup sezaman dengan Galileo Galilei. Artinya ketika di Barat sedang terjadi kebuntuan pemahaman tentang ilmu dan agama, Mulla Shadra telah mempunyai konsep yang cemerlang untuk menjawab kebuntuan itu. Satu kondisi atmosfir keilmuan yang sangat kontras karena di Barat sedang terjadi konfrontasi antara ilmu dan agama sedangkan di dunia Islam hubungan ilmu dan agama justru mengalami penguatan.

Pemikiran Mulla Shadra, sebagai bagian dari fragmentasi perkembangan pemikiran Islam, secara cerdas dan jernih menempatkan kedudukan ilmu dan agama pada posisi yang harmonis. Tidak salah tentunya apabila ada ungkapan bahwa kemajuan pemikiran Islam terjadi manakala agama secara mutualis menjadi bagian tak terpisahkan dari perkembangan ilmu. Agama bukan penghambat perkembangan ilmu sebagaimana terjadi di Barat tetapi justru merupakan pendorong sekaligus ruh bagi karakteristik keilmuan Islam.
Hubungan Ilmu Dan Agama
Pengertian ilmu
Ilmu merupakan istilah yang memiliki beragam makna. Menurut The Liang Gie ilmu dapat dibedakan menurut cakupannya. Pertama, ilmu merupakan sebuah istilah umum untuk menyebut segenap pengetahuan ilmiah yang dipandang sebagai satu kebulatan. Dalam arti yang pertama ini ilmu mengacu pada ilmu seumum-umumnya. Adapun dalam arti yang kedua ilmu menunjuk pada masing-masing bidang pengetahuan ilmiah yang mempelajari satu pokok soal tertentu misalnya antropologi, geografi, sosiologi. Tulisan ini menempatkan pemahaman ilmu pada arti yang pertama.

Ilmu dapat pula dibedakan berdasarkan maknanya, yaitu pengetahuan, aktivitas dan metode. Dalam arti pengetahuan, dikatakan bahwa ilmu adalah suatu kumpulan yang sistematis dari pengetahuan (any systematic body of knowledge). John G. Kemeny menggunakan istilah ilmu dalam arti semua pengetahuan yang dihimpun dengan perantaraan metode ilmiah. (all knowlwdge collected by means of the scientific method).

Ilmu dalam bahasa Arab berasal dari kata ‘alima yang berarti ‘tahu’. Dalam bahasa Inggris di sebut science berasal dari perkataan Latin scientia yang diturunkan dari kata scire yang berarti mengetahui (to know) atau belajar (to learn). Dalam arti yang kedua ini ilmu dipahami sebagai aktifitas, sebagaimana dikatakan Charles Singer bahwa ilmu adalah proses yang membuat pengetahuan (science in the process which makes knowledge). Sebagai aktifitas, ilmu melangkah lebih lanjut pada metode.  Titus mengatakan bahwa banyak orang mempergunakan istilah ilmu untuk menyebut suatu metode guna memperoleh pengetahuan yang objektif dan dapat membuktikan kebenarannya (a method of obtaining knowledge that is objective and verifiable).

Pengertian Agama
Dalam Musyawarah Antar Agama di Jakarta, 30 November 1967, terkait dengan agama, H.M. Rasjidi mengatakan bahwa agama adalah hal yang disebut sebagai problem of ultimate concern, oleh karenanya tidak mudah untuk didefinisikan. Mukti Ali menunjukkan tiga alasan mengapa agama sulit didefinisikan, yaitu pertama, pengalaman keagamaan bersifat batiniah dan subjektif. Kedua, membahas arti agama selalu melibatkan emosi. Ketiga, arti agama dipengaruhi oleh tujuan orang yang memberikan pengertian agama tersebut.

Agama secara etimologis berasal dari bahasa Arab “aqoma” yang berarti ‘menegakkan’. Sementara kebanyakan ahli mengatakan bahwa kata ‘agama’ berasal dari bahasa Sanskerta, yaitu a (tidak) dan gama (berantakan), sehingga agama berarti tidak berantakan. Namun ada pula yang mengartikan a adalah cara dan gama berarti jalan. Agama berarti cara-cara berjalan untuk samapai kepada keridhaan Tuhan. Selain dua pandangan tersebut, kata ‘agama’ sering disejajarkan dengan kata majemuk “negara kertagama” yang berarti peraturan tentang kemakmuran agama, atau juga dengan kata majemuk “asmaragama” yang berarti peraturan tentang asmara, dengan kata lain agama dalam hal ini dapat diartikan peraturan atau tata cara.

Agama yang dalam bahasa Inggris, Perancis dan Jerman disebut religion atau dalam bahasa Belanda disebut religie, diambil dari bahasa Latin, yaitu  relege (to treat carefully), relegare (to bind together) dan religare (to recover). Dalam Islam ‘agama’ disebut dengan ‘dien’ yang oleh Moenawar Chalil dijelaskan bahwa:
“Kata dien itu mashdar dari kata kerja daana – yadienu. Menurut lughat, kata dien itu mempunyai arti bermacam-macam, antara lain berarti: 1) cara atu adat istiadat, 2)peraturan, 3) undang-undang, 4) taat atau patuh, 5) menunggalkan ketuhanan, 6) pembalasan, 7) perhitungan, 8) hari kiamat, 9) nasihat, 10) agama.”
Dalam Filsafat Perennial, agama memiliki dimensi eksoterik (bentuk) dan esoterik (substansi). Secara eksoterik di dunia ini dikenal banyak agama, namun diantara keragaman agama tersebut setiap agama memiliki substansi yang menjadi titik temu bagi keragaman tersebut. Agama yang dimaksud dalam tulisan ini secara eksoterik adalah Islam, namun secara esoterik tentu Islam memiliki nilai-nilai universal yang juga ada setiap agama.

Ragam Hubungan Antara Ilmu dan Agama
Dalam wacana pemikiran Islam banyak kalangan memandang tidak ada persoalan antara ilmu dan agama. Pengakuan adanya kebenaran ayat kauniyah (ayat yang ada dalam alam semesta) dan ayat qauliyah (ayat-ayat dalam kitab suci) telah dipandang cukup untuk menjelaskan bahwa tidak ada pertentangan antara ilmu dan agama dalam Islam, karena secara ontologis kedua ayat tersebut berasal dari Yang Satu. Turunnya ayat pertama dalam Islam juga dimulai  dengan ayat yang ‘scientific’ yaitu (iqra), sejalan pula dengan misi Nabi Muhammad Saw., untuk memberantas kebodohan (jahiliyyah), sebagai lawan dari berpikir yang rasional. Pandangan ini juga diperkuat dengan tersebarnya didalam al-Qur’an ayat-ayat berisi perintah bagi setiap muslim untuk selalu berpikir dan mengembangkan ilmu, serta diberikannya derajat yang tinggi bagi orang yang beriman dan berilmu. Dalam Islam, menuntut ilmu merupakan suatu pencarian religius.

Ilmu dan agama meskipun dianggap tidak ada persoalan, namun sejarah mencatat keduanya mengalami pendikotomian, terutama ketika Al-Ghazali memisahkan antara ilmu agama sebagai ilmu wajib dan ilmu-ilmu umum sebagai ilmu sunnah. Di Indonesia, selama bertahun-tahun dikotomi tersebut terlihat pada pemilahan bidang kajian, yaitu kajian keagamaan yang dikembangkan di perguruan tinggi agama seperti IAIN (Institut Agama Islam Negeri) atau STAIN (Sekolah Tinggi Agama Islam Negeri), adapun keilmuan umum di kembangkan di Perguruan Tinggi Umum.

Ian Barbour berusaha memetakan hubungan ilmu dan agama dalam empat tipologi yaitu konflik, independensi, dialog dan integrasi. John F Haught juga melakukan hal yang sama dengan menggunakan istilah yang berbeda yaitu konflik, kontras, kontak dan konfirmasi.

1. Konflik. Hubungan ini ditandai dengan adanya dua pandangan yang saling berlawanan antara ilmu dan agama dalam melihat satu persoalan. Keduanya sama-sama memiliki argumentasi yang tidak hanya berbeda tapi saling bertentangan bahkan menafikan satu dengan yang lain. Ian Barbour, seorang fisikawan sekaligus teolog, mencatat bahwa momentum kuat munculnya konflik antara ilmu dan agama terjadi pada masa abad pertengahan, manakala otoritas gereja menjatuhkan hukuman kepada Galileo Galilei pada tahun 1633. Karena mengajukan teori Copernicus bahwa bumi dan planet-planet berputar mengelilingi matahari (heliosentris) dan menolak teori Ptolemaeus yang didukung oleh otoritas ilmiah Aristoteles dan otoritas kitab suci yang menyakini bahwa bumi sebagai pusat alam semesta (geosentris). 

Seseorang tidak dapat menerima pandangan heliosentris dan geosentris sekaligus atau dengan kata lain harus memilih salah satu apakah akan menerima kebenaran agama atau kebenaran ilmu. Jika menerima kebenaran agama akan berimplikasi pada penolakan objektifitas kebenaran ilmu, dan jika menerima kebenaran ilmu akan berimplikasi pada pengingkaran kebenaran agama dan dituduh sebagai kafir.

Persoalan lain yang menggambarkan hubungan konflik antara ilmu dan agama adalah masalah teori evolusi Darwin yang muncul pada abad ke-19. Sejumlah ilmuwan dan agamawan menganggap bahwa teori evolusi Darwin dan kebenaran kitab suci tidak dapat di pertemukan. Kaum Literalis Biblikal memahami bahwa alam semesta di ciptakan Tuhan secara langsung (kreasionisme), adapun kaum evolusionis berpandangan bahwa alam semesta terjadi secara alamiah melalui proses yang sangat panjang (evolusionisme). Dengan menunjukan bukti-bukti empiris kaum evolusionisme tidak menisbahkan proses yang panjang itu pada Tuhan namun melalui proses yang alamiah. Makhluk hidup dapat berkembang menjadi beraneka ragam melalui mekanisme adaptasi, survival for live dan seleksi alam. Meskipun Darwin tidak mengatakan manusia berasal dari kera namun baginya manusia bukanlah makhluk yang di ciptakan khusus kemudian ditempatkan di bumi ini sebagaimana yang di pahami kreasionisme. Menurutnya, manusia hanyalah proses evolusi tersebut. Pandangan demikian tentu menggeser pandangan gereja bahwa Tuhanlah yang menciptakan satu persatu makhluk hidup dan se elidikan masing-masing. Ilmu dan agama tidak perlu saling mencampuri satu dengan yang lain karena memiliki cara pemahaman akan realitas yang benar-benar terlepas satu sama lain, sehingga tidak ada artinya mempertentangkan keduanya.

Menurut pandangan ini upaya peleburan merupakan upaya yang tidak memuaskan untuk menghindari konflik. Kalangan Kristen Konservatif berusaha meleburkan ilmu dan agama dengan mengatakan bahwa Kitab Suci memberikan informasi ’ilmiah’ yang paling dapat di percaya tentang awal mula alam semesta dan kehidupan yang kehidupan yang tidak mengandung kesalahan. Mereka menolak teori evolusi Darwin, dan membangun konsep baru tentang penciptaan yang dinamakan “ilmu penciptaan” (creation science) berdasarkan atas penafsiran harfiah terhadap kisah-kisah Biblikal. Hal serupa juga di lakukan oleh penganut konkordisme yang memaksakan agar Kitab Suci bisa disamakan dengan alur-alur kisah kosmologi modern. Bagi penganut aliran ini, agama harus dibuat sedemikian rupa sehingga tampak ilmiah kalau agama ingin dihargai secara intelektual.

Karl Barth berpandangan bahwa ilmu dan agama memiliki metode dan poko persoalan yang berbeda. Ilmu di bangun berdasarkan pengamatan dan penalaran manusia, sedangkan teologi berdasarkan wahyu Tuhan. Oleh karenanya ilmu dan agama harus berjalan sendiri-sendiri tanpa ada campur tangan satu dengan yang lain.

Barbour menambahkan bahwa selain metode dan pokopk persoalan, bahasa dan fungsinya  juga berbeda. Bahasa ilmiah berfungsi menjwab bagaimana, yang ditujukan untuk mendeskripsikan dan mencari jalan keluar atas fenomena riil kemanusiaan, sedangkan bahasa agama berfungsi untuk menjawab mengapa, yang akan mendorong seseorang untuk mematuhi prinsip-psinsip moral tertentu.

Gambaran yang sering digunakan untuk menjelaskan tipologi ini adalah seperti halnya permainan, missal, catur dan bisol. Peraturan dalam catur tidak dapat diterapkan dalam bisbol demikian pula sebaliknya. Tidak ada gunanya untuk mengatakan yang satu lebih baik dari yang lain. Demikian halnya dengan ilmu dan agama, tidak ada yang dapat diperbandingkan satu dengan yang lain dan keduanya tidak dapat ditempatkan pada posisi bersaing atau konflik.

Pendekatan independensi ini di nilai cukup aman karena dapat menghindari konflik dengan cara memisahkan hubungan di antara keduanya. Pendekatan ini menggambarkan ilmu dan agama sebagaimana jalur kereta yang berel ganda, masing-masing memiliki jalan yang independen dan otonom. Ketegangan antara Galileo Galile dengan gereja semstinya tidak perlu terjadi jika agama tidak masuk kewilayah privasi ilmu, demikian pula ilmu tidak memaksakan diri dengan rasional-empirisme pada agama. Ilmu dan agama mempunyai bahasa sendiri karena menjalani fungsi yang berbeda dalam kehidupan manusia, agama berurusan dengan fakta objektif, agama rentan dengan perubahan karena sifatnya yang deduktif, sedangkan ilmu setiap saat bisah berubah karena sifatnya yang lebih induktif. Ilmu dan agama adalah dua domain independen yang dapat hidup bersama sepanjang mempertahankan “jarak aman” satu sama lain. Ilmu dan agama berada pada posisi sejajar dan tidak saling mengintervensi satu dengan yang lain.

2.    Dialog. Pendekatan independensi meskipun merupakan pilihan yang cukup aman, namun dapat menjadikan realitas kehidupan menjadi terbelah. Penerimaan kebenaran antara ilmu dan agama menjadi satu pilihan dikotomis yang membingungkan karena tidak dapat mengambil keduanya sekaligus. Adapun bagi seseorang yang berusaha menerima keduanya akan mengalami split personality, berkepribadian ganda, karena menerima dua macam kebenaran yang saling berseberangan. Menurut Barbour, pendekatan ini membantu tetapi membiarkan segala sesuatu berada pada jalan buntu yang bisa membuat orang putus asa.
Pendekatan dialog memandang bahwa ilmu dan agama tidak dapat disekat dengan kotak-kotak yang sama sekali terpisah, meskipun pendekatan ini menyadari bahwa keduanya berbeda secara logis, linguistik, maupun normatif. Bagaimanapun juga, di Barat, agama telah memberikan banyak inspirasi bagi perkembangan ilmu, demikian pula penemuan-penemuan ilmiah juga mempengaruhi teologi. Meskipun keduanya berbeda namun tidak mungkin benar-benar dipisahkan. 
Pendekatan dialog ini dapat membangun hubungan yang mutualis. Dengan belajar dari ilmu, agama dapat membangun kesadaran kritis dan lebih terbuka sehingga tidak terlalu over sensitive terhadap hal-hal yang baru. Sebaliknya, ilmu perlu mempertimbangkan perhatian agama pada masalah harkat kemanusiaan. Dalam dunia manusia, ada realitas batin yang membentuk makna dan nilai. Ilmu bukanlah satu-satunya jalan menuju kebanaran, dan ilmu bukan hanya untuk ilmu tetapi ilmu juga untuk kemanusiaan. Agama dapat membantu memahami batas-batas rasio, yaitu pada wilayah adikodrati atau supranatural ketika ilmu tidak mampu menyentuhnya. 
Hubungan dialogis berusaha membandingkan metode kedua bidang yang dapat menunjukan kemiripan dan perbedaan. Dialog dapat terjadi manakala ilmu dan agama menyentuh persoalan diluar wilayahnya sendiri.

3.    Integrasi. Ada dua makna dalam tipologi ini. Pertama, bahwa integrasi mengandung makna implisit reintegrasi,  yaitu menyatukan kembali ilmu dan agama setelah keduanya terpisah. Kedua, integrasi mengandung makna unity, yaitu bahwa ilmu dan agama merupakan kesatuan primordial. Makna yang pertama populer di Barat karena kenyataan sejarah menunjukan keterpisahan itu. Adapun makna kedua lebih banyak berkembang di dunia Islam karena secara ontologis di yakini bahwa kebenaran ilmu dan agama adalah satu, perbedaannya pada ruang lingkup pembahasan, yang satu pengkajian dimulai dari pembacaan Al-Qur’an, yang satu dimulai dari pembacaan alam. Kebenaran keduanya saling mendukung dan tidak saling bertentangan.

Beberapa Tipe Integrasi Ilmu dan Agama 
Ada beragam konsep tentang integrasi. Dalam konteks Kristen kontemporer Ian Barbour mengajukan konsep yang dikena sebagai integrasi teologis. Konsep ini berusaha mencari implikasi telogis atas berbagai teori ilmiah mutakhir, kemudian satu teologi baru dibangun dengan memperhatikan juga teologi tradisional sebagai salah satu sumbernya. Pandangan konseptual teologi dapat berubah atas nama “belajar dari ilmu”.

Pandangan teology of nature Barbur mendapat kritik dari Huston Smith dan Seyyd Hosein Nasr karena apabila teologi dapat setiap saat bisa berubah karena berinteraksi (belajar dari ilmu), akan menimbulkan kesan bahwa teologi berada di bawah ilmu. Tokoh Kristen yang lain adalah John F. Haugat. Ia menggunakan istilah konfirmasi sebagai bentuk dari integrasi yang dimaksudkan, sebagai upaya mengakarkan ilmu beserta asumsi metafisisnya pada pandanga dasar agama tentang realitas. Apabila agama berisi keyakinan apriori, misalnya tentang Tuhan, surga dan neraka, dalam ilmu pun sebenarnya juga mengandung ‘keyakinan’ apriori, misalnya alam semesta merupakan totalitas benda-benda yang tertata secara rasional. Tanpa asumsi dasar ini ilmu sebagai pencarian intelektual tidak dapat melakukan langkah pertamanya sekalipun.

Integrasi yang ingin di bangun oleh Haugat tidak hendak meleburkan ilmu dan agama, serta tidak hanya bertujuan untuk menghindari konflik, tetapi menempatkan agama sebagai pendukung seluruh upaya kegitan ilmiah, memperkuat kerinduan akan pengetahuan dan memperkuat dorongan yang bisa memunculkan ilmu. 
Integrasi Holistik Ilmu dan Agama prespektif Mulla Shadra

Apakah hubungan ilmu dan agama berada pada posisi konflik, independensi, dialog atau integrasi masih menjadi perdebatan hingga saat ini. Di tengah kebimbangan untuk memahami pada posisi mana sesungguhnya ilmu dan agama berada, Mulla Shadra mempunyai pandangan filosofis, terutama dalam bidang ontologi an epistemologi yang menunjukan karakter yang kuat pada tipe integrasi meskipun secara eksplisit ia tidak pernah membahas secara langsung hubungan antara imu dan agama. Beberapa prinsip penting yang mendasari integrasi tersebut adalah:

1.    Tauhid (Keesaan Allah)
Keesaan Allah adalah prinsip yang paling mendasar dalam Islam konsep ini berimplikasi pada kesatuan ciptaan yakni keterhubungan bagian-bagian alam, dan selanjutnya berimplikasi pula pada kesatuan pengetahuan. Tapi bukan saja menjadi kerangka keimanan yang menjadi dasar keyakinan umat Islam kepada Allah, namun juga merupakan kerangka pemikiran yang membangun integritas kebenaran. Pandanga tauhid ini didasarkan atas beberapa firman Allah dalam Al-Qur’an yaitu:
“Dan Tuhan kalian adalah Tuhan yang Maha Esa, tidak ada Tuhan selain Dia”.(Q.S. 2:163). 
“Apakah ada keragu-raguan tentang Allah, pencipta langit dan bumi” (Q.S. 14:10).
Pandangan uniter dalam keilmuan diyakini oleh ilmuwan muslim sejak masa lampau. Mereka tidak mengutamakan satu bidang ilmu atas yang lain, namun satu ilmu selalu terkait dengan bidang ilmu yang lain. Akan tetapi, dewasa ini hampir-hampir tidak terjadi dialog antara ilmu terutama ilmu alam dan ilmu sosial humaniora.
2.    Keyakinan pada realitas adikodrati dan keterbatasan pengetahuan manusia. 
Al-Qur’an menjelaskan sebagai berikut: “Dan Tuhan mengeluarkan kaian dari rahim ibu kalian dalam keadaan tidak tahu apa-apa, dan Kami berikan kepada kalian pendengaran dan pengelihatan dan hati agar kalan dapat bersyukur”.(Q.S. 16:78). Ayat ini menunjukan bahwa manusia berawal dari tidak tahu dan melalui sarana yang diberikan Allah berupa panca indera dan hati, manusia dapat mengembangkan ilmu pengetahuan. Al-Qur’an menyebutkan pembedaan dua alam yaitu alam tak tampak dan alam tampak. Dengan kemampuan yang dimilikinya manusia dapat mengembakan penyelidikan pada alam tampak, sedangkan terhadap alam yang tak tampak harus melalui bimbingan wahyu agar tidak  mengalami pemahaman yang salah.
“Katakanlah (hai Muhammad): Aku tidak mengatakan kepada kalian bahwa aku memiliki khazanah-khazanah Tuhan, tidak pula aku mengetahui apa yang gaib, dan tidak pula aku mengatakan pada kalian bahwa aku adalah sosok malaikat. Aku hanya mengikuti apa yang diwahyukan kepadaku.”(Q.S. 6:50).
Dua ayat tersebut menegaskan keyakinan bahwa ada realitas yang adikodrati yang menguasai, memberikan sarana dan mengajarkan ilmu kepada manusia. Namun demikian tidak semua ilmu dapat dikuasai manusia karena keterbatasan yang dimilkinya.

3.    Keyakinan pada alam yang memiliki tujuan
Dalam pandangan Al-Qur’an , Allah menciptakan segala sesuatu dalam satu ukuran tertentu dan menetapkan baginya suatu tujuan. Dan tidak Kami ciptakan langit dan bumi, dan apapun yang ada diantara keduanya untuk kesia-siaan. (Q.S. 38: 27). Pandangan Al-Qur’an tentang tujuan alam berjalan seiring dengn konsep kehidupan akhirat. Perjalanan dunia akan berakhir dan digantikan dengan kehidupan akhirat. Apakah kalian mengira bahwa kalian tidak akan dikembalikan kepada Kami? (Q.S. 23: 115). Pemahama Islam ini sekaligus menepis pandangan kaum naturalis bahwa alam terjadi secara kebetulan, yaitu melalui proses alamiah berdasarkan hukum alam yang ada dalam dirinya. Oleh karena kebetulan, tentu alam tidak memiliki tujuan kecuali hanya berjalan sesuai dengan hukum-hukum tersebut.

4.    Komitmen pada nilai-nilai moral
Komitmen moral adalah salah satu dari risalah kenabian. Sebagaimana dalam satu hadist dijelaskan  bahwa Nabi Muhammad saw., diutus untuk menyempurnakan ahlak manusia. Hal ini juga diperkuat dalam Al-Qur’an:
“Dialah yang mengutus seorang dari kalangan orang-orang yang buta huruf untuk membacakan ayat-ayat-Nya dan menyucikan mereka dan mengajarkan mereka Al-Kitab dan kebijaksanaan, meski sebelumnya mereka berada dalam kesesatan yang nyata. (Q.S. 62: 2).
Islam menganjurkan umatnya untuk menjalankan agama secara kaffah (sempurna). Diantara komponen kesempurnaan itu adalah bahwa umat Islam harus mengembangkan ilmu yang tidak hanya untuk ilmu tetapi ilmu yang mempunyai perhatian pada alam dan kemanusiaan, oleh karenanya ilmu harus dilandasi oleh nilai-nilai moral.

Integrasi Ontologis Ilmu dan Agama
Ontologi adalah salah satu cabang filsafat yang membincang masalah ‘yang ada’, baik bersifat fisik maupun non-fisik. Ontologi lebih banyak berbicara tentang hakikat ‘yang ada, sehingga seringkali disamakan dengan metafisika, yaitu ilmu yang membicarakan tentang realitas, kualitas, kesempurnaan, yang ada, yang oleh Aristoteles disebut sebagai Filsafat Pertama.

‘Yang ada’ dapat dibedakan dalam tiga hal, yaitu mustail ada, mungkin ada dan wajib ada. Yang dimaksud dengan ‘mustahil ada’ adalah sesuatu yang keberadaannya bersifat mustahil, yang tidak ada dalam realitas kongkret, misalnya kuda terbang. Adapun ‘mungkin ada’ adalah sesuatu yang keberadannya bersifat mungkin, yaitu mungkin ada mungkin tidak ada. Keberadaan sesuatu yang mungkin ini sangat bergantung pada sesuatu yang menjadi penyebab keberadaanya. Misalnya ‘kursi’ akan ada bila terdapat kayu atau besi yang—meminjam pandangan Aristoteles—menjadi sebab bahannya (kausa material), terdapat sebab bentuk (kausa formal), terdapat subjek manusia yang merealisasikan bahan dan bentuk itu menjadi sebuah kursi (sebab efisien), serta ada tujuan mengapa kursi itu diciptakan yaitu sebagai tempat untuk duduk (kausa final). Sedangkan ‘wajib ada” adalah keberadaan sesuatu yang sifatnya wajib. Ia ada tidak karena sesuatu yang lain namun justru menjadi penyebab  atas keberadaan segala sesuatu. Inilah yang oleh Aristoteles disebut sebagai Kausa Prima, yang dalam bahasa agama disebut dengan Tuhan.
Pandangan ontologi Mulla Shadra dapat diketahui dari filsafatnya tentang wujud. Dalam khasanah pemikiran Islam diantara tema-tema matafisika yang paling banyak melahirkan kontroversi filosofis adalah problem wujud ini.

Konsep wujud (mafhum wujud) digambarkan seperti pemahaman atas pernyataan “ada seekor kuda” atau “kuda itu ada”. Setiap orang dengan segera akan memahami pernyataan tersebut tanpa melalui refleksi yang mendalam karena terjadi secara natural dan spontan. Sesorang tidak perlu belajar untuk dapat memahami pernyataan tersebut. Akan tetapi tidaklah mudah untuk memahami realitas wujud (hakikat wujud) karena sedemikian jelasnya konsep ini. Analoginya bahwa wujud sedemikian terangnya seperti matahari oleh karena demikian terangnya sehingga tidak mungkin dapat dilihat.

Konsep wujud Mulla Shadra terdiri atas tiga prinsip yang mendasar, yaitu: Wahdah Al-Wujud, Taskik Al-Wujud dan Asalah Al-Wujud.
1.    Wahdah al-Wujud (Kesatuan Wujud)
Pandangan wahdah Al-wujud ini diadopsi Mulla Shadra dari konsep mistisisme yang dikembangkan oleh Ibnu ‘Arabi. 
Secara umum dalam pembahasan tentang wahdah al-wujud terdapat empat tipologi hubungan antara wujud dan maujud dilihat dalam ketunggalan dan kejamakanya, yaitu 1) Ketunggalan wujud dan maujud, 2) Kejamakan wujud dan maujud, 3) Ketunggalan wujud dan kejamakan maujud, 4) Kejamakan wujud dan ketunggalan maujud. Diantara keempat tipologi ini Mulla Shadra dapat dikategorikan berada pada tipe pertama dan ketiga. 
Mulla Shadra melihat bahwa realitas wujud meskipun satu, ia memiliki intensitas yang membentang dari Wujud Wajib (wajid al-wujud) yang sifat wujudnya adalah niscaya (necessary), ke maujud lain yang bersifat mungkin (mumkin al-wujud). Ia persis seperti matahari dan sinarnya. Matahari tentu berbeda dengan sinarnya. Namun pada waktu yang sama, sinar matahari tiada lain adalah matahari itu sendiri.
2.    Tasykik al-Wujud (Gradasi Wujud)
Tasykik mengandung arti menjadi “lebih atau kurang” atau menjadi “lebih atau kurang”. Dari pengertian ini, keadaan berbagai hal yang mengandung ciri-ciri lebih dulu atau lebih kemudian, lebih sempurna atau tidak lebih sempurna, lebih kuat atau lebih lemah. Prinsip ini menyatakan bahwa meskipun wujud merupakan suatu realitas tunggal yang pada dasarnya adalah sama dan serupa pada seluruh yang ada, karena seluruh yang ada adalah penampakan-penampakan diri dari realitas tunggal terebut, namun ia juga menjadi prinsip pembeda. 
Ada dua proposisi yang mengandung prinsip tasykik al-wujud. Pertama, bahwa wujud merupakan sifat umum yang secara aquivokal menyifati seluruh yang ada (prinsip persamaan). Kedua, bahwa secara univokal realitas hanya menjadi wujud semata (prinsip pembedaan). Karakter  wujud yang demikianlah yang memungkinkan terjadinya gerak evolusioner. Mulla Shadra mengakui prinsip ketunggalan wujud, namun dalam wujud yang tunggal tersebut sesungguhnya memiliki gradasi atau tingkatan.
Mulla Shadra juga mengembangkan prinsip iluminasi  dari Syuhrawardi tetapi memiliki perbedaan yang sangat mendasar. Kalau Syuhrawardi memandang bahwa gradasi ini terjadi pada mahiyah (kuiditas), Shadra memahaminya pada wujud.
Salah satu sumbangsih Mulla Shadra yang sangat berharga dalam bidang ontologi adalah konsepnya tentang gerak substansial (Al-Harakah Al-Jauhariyah). Konsep ini menyatakan bahwa: Satu, tingkat-tingkat wujud tidaklah tetap dan statis tetapi terus bergerak mencapai bentuk-bentuk wujud yang lebih tinggi secara terus-menerus. Kedua, wujud dapat diterapkan pada seluruh tangga evolusi. Ketiga, gerak alam semesta yang tidak dapat dibalik (satu arah) berakhir pada manusia sempurna yang menjadi anggota alam ketuhanan dan bersatu dengan sifat-sifatnya. Keempat,  masing-masing tangga wujud yang lebih tinggi meliputi dan melampaui semua tangga yang lebih rendah. Dengan kata lain, realitas sederhana adalah segala sesuatu, yakni semakin tinggi realitas, semakin sederhana dan semakin meliputi. Kelima, semakin tinggi tingkat wujudnya semakin sedikit esensinya.
3.    Asalah al-Wujud (Kehakikian Wujud)
Konsep asalah (fundamentalitas ontologis) telah memunculkan persoalan dikotomis antara wujud (eksistensi) dan mahiyah (whatness atau kuiditas). Pertanyaannya yang muncul adalah: diantara wujud dan mahiyah, manakah yang benar-benar  riil secara fundamental?. 
Mulla Shadra berpandangan bahwa setiap wujud kontingen/mungkin (mumkin al-wujud) terdiri atas dua pola perwujudan, yaitu eksistensi (wujud) dan kuiditas (mahiyah). Diantara dua pola ini yang benar-benar riil adalah wujud, sedangkan mahiyah tidak lebih daripada penampakan (i’tibar) belaka. Pandangan Shadra ini bertolak belakang dengan pandangan gurunya, Mir Damad, demikian juga Syuhrawardi yang memahami mahiyah sebagai realitas yang mendasar (asalah al-mahiyah).
Salah satu contoh digambarkan oleh Syaifan Nur terkait dengan masalah wujud dan mahiyah ini, yaitu saat melihat manusia (sebagai wujud kongkritnya), maka ada dua pernyataan yang muncul, yaitu pertama, dia adalah seorang manusia. Kedua, ia Ada. Pernyataan pertama adalah mahiyah, menunjukkan perbedaannya dengan sesuatu yang ada lainnya. Pernyataan kedua adalah wujud, yang menunjukkan sesuatu yang aktual, nyata dan sama dengan seluruh ada yang lain. Contoh ini sekaligus menjadi gambaran bahwa wujud mendahului mahiyah, karena sesuatu eksis terlebih dahulu baru kemudian hadir kuiditasnya.
Bagaimana menjawab pertanyaan tentang mengapa terjadi konflik antara ilmu dan agama. Pertanyaan ini dapat dijelaskan dengan menggunakan pemhaman struktur ontologis realitas Mulla Shadra tersebut, bahwa antara ilmuwan dan agamawan memiliki cara pandang ontologis yang berbeda. Dari sisi ilmuwan, mereka membatasi ilmu hanya pada aspek yang bersifat fisik dan menolak segala aspek yang bersifat metafisis.

Sebaliknya dari sisi agamawan, mereka hanya memahami agama pada tingkat ‘ alam perintah’ dan ‘alam ketetapan’ saja, padahal agama dapat pula berada pada’alam materi’. Pada alam materi ini agama menjadi sesuatu yang dipahami oleh manusia, oleh karena pemahaman manusia bersifat relatif. 
Perbedaan pandangan antara ilmu dan agama sesungguhnya terjadi pada alam materi. Pada tingkat alam materi ini, baik ilmu maupun agama berada sebagai konsep, yaitu dalam pikiran manusia. Pemahaman dan penguasaan ilmuwan atas ilmu Tuhan, demikian pula pemahaman dan penguasaan agamawan atas Agama (dengan A besar) tidak lebih dari air yang menempel di jari ketika jari tersebut dicelupkan di air samudra. Air yang menempel di jari sebagai gambaran ilmu yang dikuasai oleh ilmuwan/agamawan, sedangkan samudra sebagai gambaran ilmu Tuhan yang Maha Luas.

Pandangan ontologis demikian diharapkan dapat menumbuhkan sikap etis bagi ilmuwan maupun agamawan untuk ‘rendah hati’ dalam menyikapi kebenaran, yaitu bahwa kebenaran yang saya pahami hanyalah satu potong puzzle dari gambar keseluruhan alam semesta. Beragam pandangan para ilmuwan maupun agamawan yang lain dapat dipandang sebagai potongan-potongan puzzle yang berguna untuk saling melengkapi pemahaman akan kebenaran mutlak.
Penjelasan ini menegaskan bahwa wujud ilmu dan agama dalam dirinya sendiri tidak mengalami konflik jika ada konflik sesungguhnya bukan konflik antara ilmu dan agama, tetapi konflik pemahaman ilmuwan dan agamawan. Dapat ditegaskan disini bahwa status ontologis antara ilmu dan agama adalah integratif-interdependentif, yaitu “tidak ada agama tanpa ilmu dan tidak ada ilmu tanpa agama”.

Integrasi Epistemologis Ilmu dan Agama
Setiap pandangan epistemologi pasti disadari oleh suatu pemahaman ontologi tertentu. Seseorang yang meyakini bahwa hakikat segala sesuatu adalah materi, maka bangunan epistemologinya pun akan bercorak materialisme. Pemahaman ini akan mengarahkan setiap penyelidikannya pada apa yang dianggapnya sebagai kenyataan hakiki, yaitu materi. Pemahaman ini dapat dilihat misalnya pada empirisme, rasionalisme dan positivisme Demikian pula bagi seseorang yang secara ontologis meyakini bahwa kenyataan hakiki adalah yang non-materi, mereka juga akan mengarahkan penyelidikannya pada yang non materi, pemahaman ini dapat dilihat misalnya pada intuisionisme.

Pandangan epistemologi Mulla Shadra melampaui pandangan Empirisme, Rasionalisme maupun Kritisisme yang lahir dan berkembang di Barat. Mulla Shadra juga melampaui para pemikir Islam lainnya karena keberhasilannya memadukan empat aliran besar pemikiran Islam, yaitu filsafat peripatetik (masysyai) Islam dari Ibnu Sina, Iluminasionis (teosofi Isyraqi) dari Syuhrawardi, ajaran tasawuf dari Ibnu Arab, dan teologi Islam (kalam). Agar lebih utuh memahami epistemologi Mulla Shadra maka perlu dijelaskan tiga hal pokok yang menjadi kerangka bagi bangunan epistemologinya yaitu: 1) Ilmu Hudhuri, 2) Konsep tentang persepsi, dan 3) kesatuan antar yang mengetahui dan yang diketahui.

1.    
Ilmu Hudhuri
Mulla Shadra sebagaimana para pemikir Islam yang lain membagi pengetahuan menjadi dua. Pertama, pengetahuan berdasarkan korespondensi atau representasi, disebut juga pengetahuan capaian (al-‘ilm al–Hushuli); dan kedua, pengetahuan presenial (al-ilm al-hudhuri). Epistemilogi Barat modern hanya mengenal pengetahuan Hushuli, yaitu pengetahuan yang diperoleh melalui kerja indra dan akal, sebagai kerja yang murni dilakukan manusia. Mereka tidak mengakui pengetahuan presensial (hudhuri) sebagai pengetahuan yang secara intuitif didapatkan langsung dari pemilik kebenaran. Pemahaman Shadra tentang Ilmu Hudhuri ini didasarkan atas ayat Qur’an yaitu: Dan dia mengajarkan kepada adam nama-nama seluruhnya. (Q.S.2: 31)

Pengetahuan hushuli diperoleh melalui konsep-konsep dalam pikiran tentang yang diketahui, sedangkan pengetahuan hudhuri mengimplikasikan kehadiran realitas yang diketahui dalam akal/intelek secara langsung tanpa perantara. Pengetahuan ini bersifat intuitif, ilmunatif dan melampaui alam rasio, tetapi bukan berarti tanpa bobot intelektual. Mulla Shadra mengistilahkan dengan signifikansi wahyu sebagai sumber asasi bagi pengetahuan.

Bagi Shadra pengetahuan adalah wujud, yakni status wujud dan status pengetahuan adalah sama. Agar pengetahuan menjadi mungkin, wujud objektif material eksternal harus mengalami transformasi, suatu perubahan aktual. Dalam persepsi yang terjadi bukan abstraksi bentuk dari materi, namun transformasi objek persepsi yang hadir dalam jiwa yang mengetahui. Oleh karena apa yang diketahui bukan abstraksi atau ciptaan pikiran, maka sesuatu yang diketahui merupakan sesuatu yang riil dalam totalitasnya, tanpa pengurangan atau tambahan. Dalam pengetahuan hushuli hubungan antara subjek dengan objek jelas terpisah sehingga ada konsep dualisme didalamnya. Sementara pada pengetahuan hudhuri dualisme itu hilang. Yang ada adalah kesatuan antara subjek penahu dan objek yang diketahui.

2.    Persepsi
Dalam terminologi Barat istilah persepsi hanya merujuk pada sensai fisik saja, yaitu pengetahuan yang diperoleh melalui pencerapan indra. Akan tetapi bagi Shadra, sensasi bukan hanya meliputi fisik namun juga nonfisik. Persepsi adalah sebutan bagi perbuatan yang dilakukan oleh jiwa untuk mengetahui apapun objek yang diketahuinya, baik fisik maupun nonfisik. Ia membagi persepsi meliputi empat tingkat, yaitu persepsi indra (al-hiss), imajinal (al-khayal), intuisi indra (wahm), inteleksi (ta’aqqul). Namun karena persepsi imajinal dan intuisi indra merupakan perantara antara persepsi indra dan inteleksi, Shadra meringkasnya menjadi tiga yaitu persepsi indra, imajinal dan inteleksi.

3.    Kesatuan yang mengetahi dan yang diketahui
Mulla Shadra menyatakan bahwa yang ditangkap oleh indra bukanlah sifat benda materialnya, namun kualitas khusus yang bersifat kejiwaan dalam benda tersebut. Indra sesungguhnya adalah kekuatan jiwa, dengan demikian antara yang mempersepsi dan yang dipersepsi berada dalam satu modus keberadaan. Konsep inilah yang dikenal sebagai ‘kesatuan antara yang mengetahui dan yang diketahui’.

Doktrin metafisika Shadra lainnya yang terkait dengan pengetahuan adalah kesatuan intelek dengan intelijible (ittihad al-‘aqil wa al-ma’qul). Pada saat tindakan inteleksi berlangsung maka terjadilah kesatuan antara bentuk intelijible (ma’qul), pemilik intelek (‘aqil) dan intelek (‘aql). Kesatuan subjek yang mengetahui dengan objek yang diketahi paa akhirnya mempunyai implikasi kesatuan pengetahuan dengan wujud. Dengan demikian pandangan ini mengandung konsep bahwa ada hubungan yang signifikan antara memahami pengetahuan dengan tingkat kesempurnaan manusia.

Kebenaran ilmu diibaratkan sebagaimana cahaya, semakin jauh dari sumber caaya maka akan semakin sedikit mendapatkan sinar cahaya tersebut, demikian pula semakin dekat dengan sumber cahaya maka akan semakin banyak mendapatkan pancaran cahaya tersebut. Tuhan adalah cahaya ilmu sehingga jika menginginkan curahan ilmu manusia harus mendekat pada sumber cahaya tersebut. Konsep inilah yang menjadi dasar epistemologis bahwa ilmu tidak dapat lepas dari agama, karena untuk mendapatkan ilmu sesorang harus meningkatkan kualitas kedekatannya kepada Tuhan.

Pandangan ontologis yang integratif-interdependentif antara ilmu dan agama secara epistemologis akan menghasilkan konsep hubungan ilmu dan agama yang integratif-komplementer. Dalam pandangan Shadra, sumber ilmu tidak hanya rasio dan indra, namun juga intuisi dan wahyu. Keempat sumber ilmu tersebut saling melengkapi satu sama lain.

Integrasi Aksiologis Ilmu dan Agama
Aksiologi adalah salah satu cabang filsafat yang membahas masalah nilai sehingga aksiologi diartikan sebagai filsafat nilai. Beberapa persoalan yang dibahas antara lain adalah: apa sesungguhnya nilai itu, apakah nilai bersifat objektif atau subjektif, apakah fakta mendahului nilai atau nilai mendahului fakta. Nilai secara sederhana dapat diartikan sebagai ‘kualitas’. Kualitas ini dapat melekat pada sesuatu (pengemban nilai). Sebagai contoh patung batu itu indah. Patung batu adalah pengemban nilai sedangkan indah merupakan kualitas (nilai) yang melekat pada patung.

Nilai memiliki sifat polaris dan hierarkis. Polarisasi nilai menggambarkan bahwa dalam penilaian terdapat dua kutub yang saling berlawanan, misalnya: benar-salah, baik-buruk, idah-jelek. Salah, buruk, jelek, bukan sesuatu yang tidak bernilai, akan tetapi memiliki nilai yang bersifat negatif . Adapun hierarki nilai menunjukkan bahwa terdapat gradasi nilai yaitu amat buruk, buruk, cukup baik, baik dan baik sekali.

Mulla Shadra dalam karya-karyanya tidak banyak membahas masalah aksiologi, namun pandangan ontologi dan epsitemologinya cikup memberikan bahan bagi peneliti untuk melakukan refleksi bagaimana pandangan aksiologinya. Berangkat dari pandangannya tentang gradasi wujud, maka secara aksiologis ilmu dan agama juga bersifat gradatif, namun tidak hanya gradatif dalam konteks penilaian manusia (amat buruk, buruk, cukup baik, baik dan baik sekali), akan tetapi berada dalam kerangka gradasi wujud.

Berangkat dari prinsip dasar bahwa hubungan ilmu dan agama secara ontologis bersifat integratif-interdependentif, dan secara epistemologis bersifat integratif-komplementer, maka secara aksiologis ilmu dan agama dapat dikatakan memiliki hubungan yang integratis-kualifikatif. Artinya nilai-nilai (kebenaran, kebaikan, keindahan dan keilahian) secara simultan terkait satu sama lain dijadikan pertimbangan untuk menentukan kualitas nilai.

Berbicara tentang ilmu tidak hanya berbicara masalah nilai kebenaran (logis) saja, namnun juga nilai-nilai yang lain. Dengan kata lain, yang benar harus juga yang baik, yang indah dan yang ilahiah. Pandangan bahwa ilmu harus bebas nilai disatu sisi telah mengakselerasi secara cepat perkembangan ilmu namun disisi yang lain telah menghasilkan dampak negatif  yang sangat besar. Berbagai problem keilmuan terutama aplikasinya dalam bentuk teknologi telah menghasilkan beragam krisis kemanusiaan dan lingkungan, oleh karena diabaikannya berbagai nilai diluar nilai kebenaran.

Integrasi antara Ilmu dan Agama. Ilmu dan agama bukan sesuatu yang terpisah dan bukan sesuatu yang satu berada diatas yang lain. Pandangan bahwa agama lebih tinggi dari ilmu adalah pengaruh dari konsep tentang dikotomi ilmu dan agama. Ilmu dianggap sebagai ciptaan manusia yang memiliki kebenaran relatif yang oleh karenanya memiliki posisi lebih rendah dibandingkan agama sebagai ciptaan tuhan yang memiliki kebenaran absolut.

Kesempurnaan ilmu Tuhan dapat dilihat dari ciptaan-Nya di alam ini,yaitu tidak ada satupun ciptaan yang sia-sia, segala sesuatu bermanfaat dan mendukung kelestarin alam ini dan bersifat non-residu. Satu contoh dapat ditunjukkan bahwa kotoran hewan, sekalipun seakan-akan merupakan benda yang terbuang dan tidak berguna, namun keberadaannya tetap memberikan manfaat, misalnya untuk menyuburkan tanaman dan dapat menghasilkan gas untuk keprluan rumah tangga. Hal ini bisa dibandingkan dengan buatan manusia berupa kendaraan bermotor yang mengeluarkan asap yang dapat merugikan kesehatan. Akan tetapi manusia selalu berusaha memperbaiki kelemahan teorinya dari kesalahan yang mereka perbuat. Kesalahan manusia ketika membaca ilmu Tuhan di alam ini, sesungguhnya merupakan bagian dari proses pencarian kebenaran dan bukan pula karena ada kesalahan ilmu Tuhan tetapi karena ke-belum-mampu-an manusia menemukan kebenaran ilmu Tuhan yang sesungguhnya.

Jelaslah kiranya bahwa konsep integrasi ilmu dan agama sesungguhnya berpusat pada Tuhan (tauhid) karena dari-Nya semua berasal dan kepada-Nya semua kembali, inna lillahi wa inna ilaihi raji’un (segala sesuatu berasal dari Allah dan kepada-Nya semua akan kembali). Integrasi holistik ilmu dan agama hendaknya menjadi dasar bagi perkembangannya seluruh keilmuan yang ada. Upaya mengintegrasikan ilmu dan agama belum cukup hanya dengan membangun suatu institusi yang didalamnya keseluruhan ilmu, baik ilmu umum maupun ilmu agama diajarkan, sedangkan antara ilmu tersebut sebenarnya tidak pernah berdialog. Pada dasarnya institusi semacam ini belum mengintegrasikan keduanya, karena hubungan ilmu dan agama masih ‘independen’, berjalan sendiri-sendiri, hanya berada dalam wadah yang sama.

Integrasi ilmu dan agama memerlukan landasan filosofis, yang didalamnya terdiri atas tiga pilar besar yaitu ontologi, epistemologi dan aksiologi, sehingga agama tidak hanya menjadi landasan etis namun lebih luas menjadi landasan filosofis bagi perkembangan ilmu. Dengan demikian outcome yang dihasilkan dari institusi yang mengintegrasikan ilmu dan agama adalah bukan hanya ilmuwan muslim namun ilmuwan Islam. Ilmuwan muslim yang dimaksud adalah ilmuwan yang beragama Islam, yaitu seseorang yang menguasai ilmu dan kuat imannya, sedangkan ilmuwan Islam adalah, ilmuwan yang tidak hanya kuat imannya, namun yang dapat menjadikan Islam sebagai paradigma bagi perkembangan ilmu.

Kesimpulan  
Artikel ini membahas dua permasalahan pokok yaitu: 1) Bagaimana hubungan ilmu dan agama dalam wacana akademik. 2) Bagaimana hakikat integrasi ilmu dan agama dalam perspektif pemikiran Mulla Shadra baik dalam ranah ontologis, epistemologis, maupun aksiologis. Kesimpuan yang dapat diambil adalah sebagai berikut:

1.    Dalam wacana akademik secara umum, hubungan ilmu dan agama dapat dibedakan dalam empat tipologi yaitu konflik, independensi, dialog dan integrasi. Dalam tipologi koflik digambarkan bahwa ilmu dan agama sebagai dua entitas yang tidak dapat dipertemukan bahkan saling berlawanan. Kebenaran ilmu menegasikan kebenaran agama, demikian pula sebaliknya. Dalam tipologi independensi, digambarkan bahwa ilmu dan agama meskipun tidak dapat dipertemukan namun keduanya tidak saling berlawanan. Tipologi ini dipandang sebagai tipilogi yang cukup aman, karena masing-masing menghormati otoritas kebenaran masing-masing sehingga tidak terjadi konflik. Namun bagi ilmuwan yang religius tipe ini membingungkan dan menimbulkan keputusasaan, karena pada saat yang sama dia harus menerima dua kebenaran yang berbeda/berlawanan, yaitu kebenaran ilmiah yang dipahami oleh akal dan kebenaran agama yang dipahami oleh iman. Dalam tipologi dialog digambarkan bahwa ilmu dan agama memiliki bahasa metode dan ukuran kebenaran yang masing-masing berbeda. Meskipun keduanya berbeda, namun tidak saling berlawanan bahkan saling mengisi dan menjelaskan satu sama lain. Adapun dalam tipologi integrasi dijelaskan bahwa ilmu dan agama merupakan dua hal yang pada dasarnya merupakan satu kesatuan  yang tidak dapat dipisahkan. Keduanya saling mendukung keberadaan satu sama lain. Menurut penulis, tipologi integrasi merupakan tipologi hubungan ilmu dan agama yang paling ideal.

2.    Tipologi integrasi juga memiliki beberapa model. Yaitu; pertama, integrasi teologis yang dikemukakan oleh Ian Barbour. Model ini menempatkan perkembangan pemahaman teologi sejalan dengan perkembangan ilmu. Perkembangan teologi sebagaimana ilmu dapat direkonstruksi secara terus-menerus, bahkan atas nama ‘belajar dari ilmu’, dengan tetap memperhatikan ajaran dasarnya, pemahaman teologi dapat berubah. Kedua, agama sebagai konfirmasi ilmu yang dikemukan oleh John F Haught. Model ini memposisikan agama sebagai konfirmasi terhadap perkembangan ilmu, tentu ilmu yang tidak  merusak. Bentuk dari integrasi yang dimaksudkan sebagi upaya mengakarkan ilmu beserta asumsi metafisisnya pada pandangan dasar agama tentang realitas. Ketiga, integrasi pengetahuan yang dikemukan oleh Oliver L. Reiser. Integrasi yang hendak dibangun dalam humanisme kosmis ini berpijak pada konsep dasar manusia sebagai masyarakat global penghuni palnet bumi. Dengan kesadaran kosmis yang dimiliki manusia akan mampu mentransendensikan keragaman ilmu maupun agama. Keempat, Islamisasi ilmu yang dikemukan oleh Naquib al-Attas dan Islamil Razi al-Faruqi. Islamisasi ilmu dimaksudkan sebagai upaya dewesternisasi ilmu yang telah menyusup dalam seluruh aspek keilmuan. Ilmu harus dibersihkan dari noda sekularisme, dengan meletakkan kembali otoritas wahyu dan intuisi. Kelima, pengilmuwan Islam yang dikemukan oleh Kuntowijoyo. Model ini membalik konsep Islamisasi ilmu yang merupakan gerakan dari konteks ke teks menjadi gerakan dari teks menuju konteks, artinya Islam (teks al-Qur’an dan as-Sunnah) dijadkan sebagai paradigma bagi pengembangan ilmu.

3.    Adapun integrasi ilmu dan agama yang direflesikan dari filsafat Mulla Shadra dapat dipahami dalam tiga pendekatan, yaitu ontologi, epistemologi dan aksiologi.

a.    Secara ontologis, hubungan ilmu dan agama bersifat integratif-interdependentif, artinya eksistensi (keberadaan) ilmu dan agama saling bergantung satu sama lain. Tidak ada ilmu tanpa agama dan tidak ada agama tanpa ilmu. Ilmu dan agama secara primordial berasal dari dan merupakan bagian dari Tuhan, oleh karena Al-‘Ilm adalah salah satu dari nama Tuhan, sehingga wujud (eksistensi) ilmu dan agama adalah identik dan menyatu dalam wujud Tuhan.

b.    Secara epistemologis, hubungan ilmu dan agama bersifat intagratif-komplementer, artinya seluruh metode yang diterapkan dalam ilmu dan agama saling melengkapi satu sama lain. Dalam pencarian kebenaran ilmu tidak hanya menerima sumber dari kebenaran dari empiris dan rasio saja, namun juga menerima sumber kebenaran dari intuisi dan wahyu. Kebenaran ilmiah juga tidak hanya melalui usaha manusia/capaian (acquired knowlwdge), namun juga melalui pembersihan diri dan pendekatan diri kepada Tuhan sehingga ilmu itu hadir dalam diri manusia (knowledge by presence). Oleh karena ilmu memiliki makna yang spiritual, artinya, pencapaian ketinggian ilmu berkorelasi dengan kedekatannya kepada Tuhan. Ilmu bukan hanya sarana untuk mencapai kebenaran (k kecil) namun juga mencapai Kebenaran (K besar).

c.    Secara aksiologi, hubungan ilmu dan agama bersifat integratif-kualifikatif, artinya seluruh nilai (kebenaran, kebaikan, keindahan, dan keilahian) saling mengkualifikasi satu dengan yang lain. Nilai kebenaran, yang sering kali menjadi tolak ukur utama ilmu, merupakan kebenaran yang baik, yang indah dan yang ilahiah sekaligus. Justifikasi ilmu tidak hanya benar-salah (nilai kebenaran) saja, namun juga termasuk didalamnya baik-buruk (nilai kebaikan), indah-jelek (nilai keindahan) dan sacral-profan/halal-haram (nilai keilahian). Ilmu tidak bebas nilai, ilmu tidak hanya untuk ilmu tetapi ilmu harus disinari oleh-terutama-nilai tertinggi, yaitu nilai keilahian (ketuhanan). Implikasi atas saling mengkualifkasinya keseluruhan nilai dalam ilmu akan mengarahkan perkembangan ilmu menjadi ilmu yang bermoral.
Dengan demikian, kesimpulan akhir dari integrasi ilmu dan agama dalam perspektif filsafat Mulla Shadra adalah bahwa integrasi ilmu dan agama adalah integrasi yang interdependentif-komplementer-kualifikatif, yaitu integrasi yang dibangun merupakan kristalisasi dari landasan ontologis, epistemologis dan aksiologis atas ilmu. 
  


Tidak ada komentar: