Laman

Senin, 05 Maret 2012

Poin-poin Deviasi Penalaran Wahabiyah

1. Ayat-ayat Al-Qur'an dengan tegas menerangkan bahwa masalah syafaat telah termuat di dalam Al-Qur'an dan Islam. Begitu pula, syarat-syarat yang dimiliki oleh orang yang memberikan syafaat dan orang yang menerima syafaat tercantum dalam Al-Qur'an. Oleh karena itu, tidak mungkin seseorang mengklaim Islam dan Al-Qur'an tetapi mengingkari kaidah ini, karena terdapat bukti-bukti nyata yang menegaskan kaidah ini. Dan kita terkejut bagaimana mereka (Wahabiyah) menggangap diri mereka sebagai muslim lalu menolak kaidah yang merupakan hal-hal yang sudah gamblang agama dan Al-Qur'an (dharûriyât). Apakah mungkin seorang muslim dapat mengingkari dharûriyât dan kebenaran Al-Qur'an? 



2. Syafaat yang dibela di dalam Al-Qur'an merupakan syafaat yang kembali kepada garis utamanya, yaitu izin Allah swt. Kalau Dia tidak memberikan izin syafaat, seseorang tidak berhak untuk mendapatkan syafaat. Dengan kata lain, syafaat berasal dari izin Allah swt., bukan syafaat yang dimiliki oleh para sultan, yang berasal dari bawah dan berdasarkan hubungan pribadi. Syafaat ini (dari Allah swt.) semacam penegasan atas prinsip tauhid, sebab garis utamanya berasal dari sisi Allah swt. Tauhid ini lepas dari segala bentuk syirik. Akan tetapi, Wahabiyah salah menempatkan antara syafaat qur'ani dan syafaat setani dari para sultan. Mereka mengingkari syafaat qur'ani. Mereka beranggapan bahwa syafaat semacam ini bertentangan dengan tauhid. Justru sesungguhnya mereka telah mengkritisi anggapan mereka sendiri dalam masalah ini, bukan terhadap syafaat qur'ani. 


3. Syafaat sesungguhnya sejenis penyebab keselamatan, sebagaimana keyakinan akan adanya sebab-sebab di dalam alam semesta ini, seperti efek sinar matahari dan deras air hujan dalam pertumbuhan pohon-pohon, selaras dengan rinsip tauhid. Dan pada kenyataannya, perbuatan mereka sebentuk syafaat dalam tata cipta (takwînî). Begitu pula di alam tata hukum syaria't (taysri'i), adanya sebab-sebab demikian untuk ampunan dan keselamatan juga terwujud berkat izin Allah swt. Hal ini tidak hanya selaras dengan tauhid, akan tetapi juga menegaskannya. Dan syafaat ini disebut sebagai syafaat tasyrî'î. 


4. Syafaat berhala-berhala yang dinafikan oleh Al-Qur'an, dari satu sisi, adalah lantaran para penyembah berhala itu menempatkan wujud-wujud yang sama sekali tak berpengaruh ini sebagai pemberi syafaat kepada mereka. Oleh karena itu, di permulaan ayat 18, surat Yunus [10] yang secara khusus menjadi sandaran mereka, dengan gamblang ditegaskan, "Dan mereka menyembah selain dari Allah apa yang tidak mendatangkan kemudaratan kepada mereka dan tidak (pula) kemaslahatan, dan mereka berkata, 'Mereka itu adalah pemberi syafaat kepada kami di sisi Allah.'" Tentu saja syafaat jenis ini tidak ada kaitannya dengan syafaat para nabi dan wali. Syafaat jenis ini adalah syafaat arca-arca bebatuan dan baja yang tak berakal. Dari sisi lain, syafaat yang dicela oleh Al-Qur'an adalah syafaat yang berasaskan keyakinan pada kemandirian (istiqlâl) pemberi syafaat, yaitu mereka dapat memberikan efek dan pengaruh terhadap nasib manusia tanpa adnya izin dari Allah swt. Oleh karena itu, di dalam surat Az-Zumar [39], ayat 3 yang secara khusus menyinggung dalil mereka, ditegaskan, "... dan orang-orang yang mengambil pelindung selain Allah (berkata), 'Kami tidak menyembah mereka selain supaya mereka mendekatkan kami kepada Allah dengan sedekat-dekatnya.' Sesungguhnya Allah akan memutuskan di antara mereka tentang apa yang mereka perselisihkan." Sesuai dengan ayat ini, mereka menganggap sesembahan itu sebagai wali, pengurus, dan pelindung lalu mereka menyembahnya. Anggapan dan penyembahan ini merupakan kesalahan besar mereka. Akan tetapi, apabila seseorang yang sama sekali tidak menyembah malaikat, para nabi, dan wali Allah, namun menganggap mereka sebagai budiman, santun, dan pemberi syafaat di hadirat Allah Swt dan dengan izin-Nya, ia sama sekali tidak termasuk dalam kategori kecaman ayat-ayat ini. Para pengikut aliran Wahabiyah, lantaran ketidakcakapan mereka terhadap ayat-ayat Al-Qur'an ihwal syafaat, iman, kufur, dan syarat-syarat yang ditentukan oleh Allah Swt. terhadap para pemberi dan penerima syafaat, mereka campur-adukkan masalah ini dengan kepercayaan para penyembah berhala. Lantaran tidak melihat hakikat, Ia menyusuri jalan legenda. 


5. Pendapat para pengikut alirah Wahabiyah -bahwa para penyembah berhala Arab masih menganggap penciptaan, kepemilikan, dan pemberian rezeki termasuk sifat-sifat khusus Allah swt. dan kesalahan mereka hanya pada masalah media dan syafaat berhala-berhala tersebut- adalah salah satu kesalahan mereka yang bersumber dari ketidakcakapan ilmiah dan kurangnya penguasaan terhadap ayat-ayat Al-Qur'an. Banyak ayat yang sebagiannya diyakini oleh mereka tentang sifat-sifat berhala tersebut, seperti surat al-'Ankabut [29], ayat 65, "Maka apabila mereka naik bahtera, mereka berdoa kepada Allah dengan memurnikan ketaatan mereka kepada-Nya; maka tatkala Allah menyelamatkan mereka sampai ke darat, tiba-tiba mereka [kembali] mempersekutukan [Allah]". Dapat dipahami bahwa redaksi ayat ini dengan baik menunjukkan bahwa untuk memecahkan masalah yang mereka hadapi dalam keadaan normal, mereka mengadukannya kepada berhala-berhala, kendati dalam kondisi payah mereka menyebut nama Tuhan. Di dalam surat Fathir [35], ayat 40, , Allah swt. memerintahkan Nabi saw., "Katakanlah, 'Terangkanlah kepada-Ku tentang sekutu-sekutumu yang Kamu seru selain Allah. Perlihatkanlah kepada-Ku [bagian] manakah dari bumi yang telah mereka ciptakan ataukah mereka memiliki andil dalam [penciptaan] langit ...." 


Apabila musyrikin beranggapan bahwa sifat pencipta hanya khusus milik Tuhan, dan memandang berhala-berhala sebagai pemberi syafaat, pertanyaan di ayat ini tidaklah bermakna, lantaran mereka menjawab, "Kami tidak meyakini berhala tersebut sebagai pencipta. Berhala itu kami anggap sebagai satu-satunya media antara makhluk dan pencipta. Memangnya harus ada media antara makhluk dan pencipta? Hal ini menandaskan adanya sebuah bentuk syirik dalam penciptaan. Dan Nabi saw. ditugaskan untuk menerangkan kebohongan mereka dengan bertanya; siapakah yang menciptakan berhala-berhala tersebut? Di dalam surat Al-Isra' [17], ayat 111, juga mengindikasikan anggapan mereka bahwa berhala-berhala tersebut serupa dengan Tuhan dalam kepemilikan (mâlikiyah) dan pemerintahan (hâkimiyah) atas alam semesta. Bahkan mereka meyakini bahwa berhala-berhala tersebut membantu Tuhan ketika menghadapi masalah. "Dan katakanlah, 'Segala puji bagi Allah Yang tidak mempunyai anak dan tidak memiliki sekutu dalam kerajaan-Nya dan tidak mempunyai penolong pun [untuk menjaga-Nya] dari kehinaan dan agungkanlah Ia dengan pengagungan yang sebesar-besarnya." Firman yang terdiri dari tiga bagian ini, masing-masing menafikan kepercayaan para penyembah berhala yang menyatakan bahwa "para malaikat itu adalah putri-putri Tuhan" (walad dapat digunakan pada putra atau putri) , berhala-berhala tersebut merupakan sekutu Tuhan dan menganggapnya sebagai pembantu Tuhan. 


Jelas bahwa apabila kepercayaan ini tidak ada pada lingkungan seperti itu, redaksi Al-Qur'an ini tidak akan berarti apa-apa. Patut untuk diperhatikan bahwa Al-Qur'an di berbagai tempat menengarai para penyembah berhala sebagai orang-orang musyrik dan perbuatan mereka merupakan perbuatan syirik. Sekiranya mereka tidak berkeyakinan akan adanya persekutuan antara Tuhan dan berhala, dan hanya memandang bahwa berhala-berhala tersebut sebagai pemberi syafaat di hadirat Tuhan, maka redaksi ayat ini tidak benar. Teks syirik dan musyrik menyatakan pandangan mereka bahwa berhala-berhala tersebut sekutu Tuhan dalam rubûbiyah atau khâliqiyah, dan semisalnya. (Tentu saja berhala-berhala batu dan kayu tersebut merupakan lambang dan manifestasi dari para orang saleh dan para malaikat). Dengan kata lain, mereka percaya bahwa berhala-berhala tersebut dengan sendirinya dan mandiri mengelola alam semesta. Sesuai keterangan mereka, berhala-berhala tersebut merupakan sesuatu yang serupa dengan Tuhan, tidak sekedar sebuah media dan perantara di sisi-Nya. Khususnya redaksi-redaksi beragam yang tertuang dalam Al-Qur'an bagaimana menyodorkan pembahasan ini secara jelas. Misalnya, dalam surat Al-'Ankabut [29], ayat 22, "... dan sekali-kali tiadalah bagimu pelindung dan penolong selain Allah." Ayat ini menyiratkan kepercayaan para penyembah berhala. Ayat ini menyebutkan bahwa berhala-berhala tersebut adalah pelindung dan wali mereka (selain Tuhan). 


Kenyataan ini yang tercetuskan dalam surat Al-Jatsiyah [45], ayat 10, "... dan tidak akan berguna lagi bagi mereka sedikit pun apa yang telah mereka kerjakan, dan tidak pula berguna apa yang mereka jadikan sebagai sembahan-sembahan [mereka] selain Allah ...." Redaksi "selain Allah" (mindunillah) secara berulang disebutkan dalam Al-Qur'an sehubungan dengan masalah kaum musyrikin. Ini menunjukkan bahwa berhala-berhala tersebut merupakan makhluk-makhluk yang menyita perhatian mereka selain Tuhan. Sehingga berhala-berhala tersebut menjadi wali, penolong, dan pembela mereka. Dan hal ini merupakan syirik rubûbiyah, yang tidak terkait dengan masalah syafaat. Singkatnya, Al-Qur'an dalam pelbagai ayat mengkritisi secara tajam kaum musyrikin. Pertama, berhala-berhala tersebut merupakan makhluk yang tidak mengerti apa-apa. Mereka menganggapnya sebagai sumber kejadian (mabda' atsar). Dan kedua, berhala-berhala tersebut berada di samping pengaturan Tuhan, dan mereka yakin terhadap rubûbiyah berhala tersebut. Tentu saja, ucapan para penyembah Jahiliyah serbakontradiksi. 


Mereka bukanlah orang-orang yang berpengetahuan dan berpikiran logis. Mereka menjelaskan ucapan-ucapan mereka tanpa bebas dari kontradiksi dan kerancuan. Oleh karena itu, sembari mereka beranggapan bahwa berhala-berhala tersebut merupakan sekutu Tuhan dalam memecahkan masalah yang mereka hadapi, mereka juga memperkenalkan berhala-berhala tersebut sebagai mindunillah dan terpisah dari Tuhan; sebagai wali dan pembela bagi mereka. Terkadang mereka menyebutkan masalah syafaat di sisi Tuhan, dan hal ini berarti adanya keyakinan terhadap syirik af'âli (menyukutan Tuhan dalam perbuatan-Nya-AK.). Semua ini merupakan telaah dari sekumpulan ayat-ayat dan kondisi mereka. Lagi pula, mereka tidak beranggapan bahwa syafaat itu adalah bergantung kepada izin Tuhan. Oleh karena itu, kita dapat mengambil kesimpulan bahwa apabila seseorang menanti syafaat kepada manusia-manusia soleh dan para wali Allah (tidak mencarinya dari berhala-berhala bebatuan dan pepohonan) dan mempercayai mereka hanyalah sebagai pemberi syafaat di sisi Tuhan, (bukan sekutu dalam otoritas [wilâyah], pembela, dan pengatur), serta syafaat mereka dapat terlaksana berdasarkan izin-Nya (tidak mandiri dari-Nya), maka ini dibenarkan. Masalah kemudian yang akan mengemuka ialah jika seseorang tidak mengindahkan salah satu dari tiga prinsip (Tauhid, Kenabian dan Hari Kiamat) ini dan melampaui batas-batasnya. 

Tidak ada komentar: