Laman

Senin, 20 Februari 2012

Jurnal Mulla Shadra


SEBAGAI “daging yang berfikir” manusia menempati level tertinggi dalam modus utama pengetahuan. Bila Aristoteles mengatakan bahwa manusia adalah hewan yang berfikir (Al-hayawan- An-Natiq) untuk menunjukan demarkasi antara manusia dengan makhluk lain, maka keberpikiran seperti apa? Menjadi tanya yang tampaknya harus mendapat perhatian tersendiri. Oleh karena manusia dibekali daya pikir dan intuisi maka memandang manusia dari satu dimensi saja tampaknya akan menelurkan konsekuensi tertentu pula. Sehingga predikat yang disandang manusia tampaknya melampaui dimensi pikir itu sendiri. Meskipun demikian, modus utama “ke-ber-pikir-an” adalah terminal awal untuk menjalani lorong panjang berkehidupan.


MULLA SHADRA, Jurnal Filsafat Islam dan Mistisisme lahir kehadapan pembaca, akademisi , peneliti dan kalangan sadar. Bahwa keberpikiran dan pengetahuan tampaknya harus ditempatkan pada porosnya yang sejati, utuh dan holistik. Untuk kebutuhan itulah
sehingga edisi perdana Jurnal ini sesuai dengan namanya, membidik Mulla Shadra, pencetus filsafat hikmah ini sebagai bagian dari upaya kita untuk mereguk hikmah dan kebijaksanaan filosofis dalam naungan pikir Al-Qur’an dan Hadist Nabi Muhammad SAW.Meskipun telah banyak literatur yang mengkaji, meneliti, dan mendedah buah pikir filsuf hikmah ini. Namun, pilihan ini sudah tentu memiliki alasan tersendiri. Diantaranya, Mulla Shadra sejauh ini suda banyak yang mengakui dan membuktikan bahwa filsafatnya berhasil menjawab secara tajam dan radikal hakikat segala realitas. Filsafat Wujud yang menjadi fondasi bangunan filsafatnya menjadi kunci utama untuk membuka pintu pengetahuan yang lebih besar. Mungkin karena capaian itulah sehingga semakin kita mendedah buah pikir filsuf ini, semakin pula kita menemukan gagasan-gagasan segar yang terpancar dari ragam tema, seperti yang banyak kita temukan dalam tulisan-tulisan para ahli dan peneliti Mulla Shadra. Henry Corbin misalnya mengatakan, filsafat Shadra sebagai “prophetic philosophy”, filsafat yang bersumber dari mata air kenabian.
Membincang manusia dengan pengetahuan berarti pula menyibak realitas tak berbatas. Olehnya itu, fakta kemanusiaan adalah sebuah misteri yang kompleks dan pelik namun sekaligus memberi pusparagam pengetahuan manusia.Manusia dan pengetahuan, dalam epistemologi Barat selalu di bincangkan dalam kategori-kategori indrawi. Sementara manusia yang esoteris, yang ma’nawiyyah dan yang ruhiyyah dalam perkembangan mengalami pergeseran makna. Bila dahulu para filsuf mempertanyakan hakikat kemanusiaan yang abstrak, metafisis dan teoritis, maka kini manusia di letakkan di bawah kendali indra yang dangkal. Akibatnya, kemanusiaan “manusia” tak di pandang sebagai jiwa yang menyejarah namun lebih pada tubuh yang menyejarah. Sehingga perbincangan seperti manusia sempurna (al-insân al-kamîl), spritualitas manusia, dll. Di pandang bukanlah tugas epistemologi masa kini.

Term seperti. Penulis telah mati, sejarah telah berakhir, Tuhan telah mati, agama telah mati, penafsir telah mati, subjek telah mati dan lain sebagainya. Adalah cermin bahwa kompleksitas manusia dengan lautan misteriusnya tak terselami dengan mendalam. Bila kesejatian manusia itu tak ditemukan, maka apa yang akan terjadi? Orang akan bergemul dengan yang indrawi, apa yang idrawi? Tubuh dan materi!. Akhirnya ide yang substansial akan redup ditukar dengan manusia yang material dan simbolik.

Jurnal Mulla Shadra edisi kali ini menyajikan beberapa artikel yang merupakan satu dari sekian fariabel untuk menemukan pengetahuan manusia dan problem keberadaannya. Bagaimana proses tajalli Tuhan terhadap alam semesta? Adakah kemungkinan menurunkan teori persepsi Mulla Shadra dalam disiplin sosiologi? Bagaimana hubungan gerak dalam pemikiran Shadra dan hubungannya dengan kesempurnaan sejarah serta keberadaan orang suci (Insan Kamil)? Bagaiamana perbandingan filsafat sejarah Hegel dan Mulla Shadra mengenai sejarah dan kesempurnaan dalam gerak sejarah itu? Seperti apakah konsep agama dan Irfan dalam pemkiran Imam Khomeini dan Mulla Shadra? Bagaimana ilmu hudhûrî dalam pemikiran Mulla Shadra berhubungan dengan Wujud? Dapatkah filsafat Mulla Shadra menjadi fondasi disiplin psikologi Islam? Adalah pertanyaan-pertanyaan yang akan di paparkan dalam edisi jurnal Mulla Shadra kali ini. Di samping itu, kami juga menambahkan rubrik kebudayaan dan beberapa inti sari dari beberapa seminar yang perna di lakukan oleh RausyanFikr.
“Dia bersatu dengan segala sesuatu tidak dengan peleburan, dan Dia berbeda dengan segala sesuatu bukan dengan keterpisahan”
(Imam Ja’far As-Shadiq)
Bagi sementara kalangan, yang membatasi makna pengetahuan hanya sebagai hasil konseptualisasi atas realitas indrawi atau pun rasional, pengetahuan dalam pengertian kesatuan eksistensial itu akan dipandang sebagai sesuatu yang tidak mungkin diperoleh. Namun, dalam pandangan Mulla Shadra, kemungkinan kesatuan eksistensial tersebut merupakan sebuah kemestian. Mengingat fakta bahwa pada hakikatnya, segala sesuatu yang berbeda dalam bentuk-bentuk esensialnya itu selalu berada dalam satu hubungan eksistensial, bahkan apa yang dipandang sebagai esensi yang melahirkan kejamakan tersebut hanyalah modus keberadaan eksistensi itu sendiri.
Jurnal Mulla Shadra edisi ini berupaya menampilkan sebuah karakter pemikiran Islam yang bermuara pada capaian pengetahuan teoritis tanpa mengabaikan realitas alami yang mengandung sisi pluralitas, unifikasi dan kemutlakan. Artikel-artikel dalam edisi ini dapat pula dipandang sebagai batu-loncatan untuk meramu gagasan piramida pemikiran Islam dan mistisisme yang oleh sementara kalangan dianggap terpisah dengan Islam.

Tidak ada komentar: