Laman

Senin, 20 Februari 2012

MULLA SHADRA (Sosok Filosof Cerdas nan AgamisMULLA SHADRA (Sosok Filosof Cerdas nan Agamis)


Oleh: Maramita Elfani

Sadr al-Din Muhammad ibn Ibrahim ibn Yahya al-Qawamy al-Sheirazi adalah Seorang filosof kenamaan Syi’ah yang berpemikiran cerdik, unik, kharismatik dan patut mendapatkan apresiasi yang tinggi.
Mulla Shadra lahir di Syeiraz, daerah bagian selatan Iran pada tahun 1571 M. Sosok yang satu ini kerap menjadi perbincangan dikalangan pemikir Islam, terlebih bagi mereka yang berkapasitas sebagai filosof. Kemampuan intelektualnya tak lepas dari pendidikan dan perhatian yang baik oleh ayahnya, Ibrahim ibn Yahya al-Qawami al-Syeirazi, yang kala itu mempunyai kedudukan tinggi di Syeiraz dan menjadi gubernur di provinsi Fars. Kota Syeirazi diempat abad sebelumnya adalah pusat kelimuan baik filsafat, tasawuf, dan ilmu-lmu lainnya di Iran. Namun, animonya yang tinggi terhadap ilmu membuatnya tak puas dengan apa yang telah dimilikinya, hingga ia memutuskan untuk pindah ke Isfahan.


Saat itu, Isfahan berada di bawah kekuasaan dinasti Shafawi awal, yang mana para jurisprudent dan ulama-ulama konservatif-tekstualis mempunyai kekuasaan dominan. Tak heran jika kaum tekstualis ini pun begitu mengecam filsafat Mulla, terlebih teori wahdah al-wujud yang diadopsi dari Ibn Arabi (meskipun tidak sepenuhnya sama); yang menyatakan bahwa segala perwujudan alam kosmos adalah manifestasi dari wujud Tuhan, yang merupakan satu kesatuan eksistensi yang serupa namun tak sama. Konon saja, mendengar ini kaum tekstualis pun kebakaran jenggot. Alih-alih saat Tuhan diinterpretasikan; mewujud sebagai manusia, mewujud sebagai wanita, dan lainnya. Sehingga bias subjektifitas pemahaman literal fuqoha’ berujung pada vonis kafir terhadap Mulla Shadra.
Di satu sisi, esensi teori wahdah al-wujud yang dimaksud Mulla Shadra bukan seperti yang mereka pahami. Menurut Mulla Shadra, segala realitas wujud memang merupakan manifestasi dari eksistensi Tuhan, hanya saja dalam gradasi wujud yang berbeda, selain itu teori tentang gerak substansi juga membuat nilai eksistensialisme keduanya tak sama.
Ternyata pemikiran filosofis Mulla Shadra tetap tidak bisa diterima. Inilah salah satu faktor yang membuat Mulla Shadra memutuskan untuk uzlahke daerah Khuh di dekat Qum selama 16 tahun. Di akhir masa uzlahnya, pengaruh kaum konservatif di Isfahan mulai terkikis, terlebih ketika kekuasaan Alamud ditumbangkan Syiah Dua Belas Imam yang kemudian menelurkan Madzhab Isfahan. Rupanya hal ini menguntungkan pihak Mulla Shadra, sampai akhirnya beliau memutuskan untuk kembali Isfahan yang dengan cerdas ia menggunakan pendekatan fiqhiyah untuk bisa masuk keranah pemikiran masyarakat disana.
Di Isfahan, Mulla Shadra bertemu dengan salah satu ulama besar sekaligus pakar dibidang metafisika (ma wara al-thabi’ah), yaitu Sayyid Abi al-Qhasim al-Findriski. Dan tokoh lain yang ditemuinya disana; adalah Syeikh Baha’ al-Din al-Amuli dan Sayid Muhammad Baqir Astrabadi yang dikenal dengan Mir Damad. Mir Damad merupakan salah satu tokoh yang mempunyai porsi besar dalam pembentukan epistemologi pemikiran Mulla Shadra. Beliaulah yang memperkenalkan teori Iluminasi yang diusung oleh Suhrawardi. Di samping nama-nama yang tersebut diatas tokoh yang telah mengkontaminasi pemikirannya; adalah Ibn Sina dengan filsafat peripatetiknya, Ibn Arabi dengan gnostik-sufistiknya, Nasr al-Din al-Thusi, al-Ghazali dan lain-lain.
Hasil sintesis beberapa aliran filsafat yang dikemukakan Shadra memunculkan prinsip filosofis baru yang terkemas cantik dalam al-Hikmah al-Muta’aliyah atau Teosofi Transendent. Penamaan mazhabnya denganal-Hikmah al-Muta’aliyah sebenarnya bukan dari Shadra sendiri, melainkan hadiah dari murid-muridnya; Sabzawari dan al-Kasyani. Shadra berhasil merepresentasikan pemikirannya melalui karya monumentalnya al-Ashfar al-Aqliyah al-Arba’ah (Empat Perjalanan Intelektual). Di sana Shadra mencoba menyajikan empat tahapan seorang salik untuk bisa mencapai sebuah hakikat. Bagusnya, Mulla Shadra tak hanya mengetengahkan aspek dalam aliran filsafat Peripatetik yang hanya mengandalkan aspek rasio an sich dan seakan meng-underestimate jalur gnostik-sufistik. Begitupun mazhab Iluminasi yang lebih menekankan sisi keruhanian atau intuisi saja. Hal ini bisa terlihat dari perbedaan interpretasi tentang masalah ketuhanan atau konsepsi wujud mereka.
Meskipun pemikiran Mulla Shadra tak terlepas dari kontaminasi para pendahulunya, Shadra mampu menunjukkan jati diri sebagai seorang pemikir yang berprisnsip. Seperti ketika ia mengadopsi teori wahdah al-wujudnya Ibnu Arabi. Shadra tidak semata-mata menjadi seorang plagiator. Tapi ada perbedaan mendasar diantara keduanya saat menilai absolutisme eksistensi Tuhan pada realistas-realistas secara riil. Dan ini ditunjukkan dengan adanya konsep gradasi wujud serta gerak substansiJika Ibnu Arabi berpendapatwahdah al-wujud itu bersifat mutlak, seperi bisa dipahami melalui analogi cermin; yang Tuhan berposisi sebagai subjek yang sedang bercermin, sehingga semesta kosmos ini merupakan eksistansi Tuhan secara mutlak. Namun sebaliknya, nilai mutlak tersebut tidak menyertai konsep yang diusung oleh Mulla Shadra.
Salah satu prinsip yang membuat penulis begitu simpatik pada sosok Mulla Shadra adalah ketika ia memposisikan Al-Quran pada tatanan nomorwahid di atas akal dan mukasafah dalam berfilsafat, hal ini juga diakui oleh Sayyid Mohammad Khamene’i. Menurutnya, Shadra benar-benar memberikan porsi besar terhadap Al-Quran, hal ini bisa dilihat ketika Shadra memunculkan salah satu karya tafsirnya, karena selain filsuf Shadra juga pernah menjadi seorang mufasir, meskipun identitas yang pertama lebih identik dengannya. Selain itu penulis juga menemukan lebih dari 1000 ayat al-Quran dan 700 hadits terkutip rapi dalam al-Asfar al-Arba`ah. Seperti yang kita ketahui, corak sebelum abad ke-6 H, mayoritas filosof lebih mengedepankan aspek rasio tinimbang intuisi gnostik-sufistik. Sedangkan Mulla Shadra berbeda, dia berfilsafat dengan Al-Quran sebagai pedoman terkuat dalam pencarian kebenarannya. Semua kembali pada Al-Quran, sehingga ketika rasio danmuksyafahnya bertentangan, maka kebenaran tetap berada pada Al-Quran.
Mulla Shadra sosok filosof religius. Filsafatnya memberikan pengaruh besar di negara Iran. Bahkan Filsafatnya hingga saat ini menjadi ideologi negara tersebut. Nilai-nilai keislamannya seakan tak pernah luntur. Sampai akhirnya ia sakit keras sekembalinya dari haji pada kali ketujuh. Saat itulah sejarah hidup seorang Mulla Shadra berakhir, tepatnya tahun 1640 M di Basrah. Namun bukan berarti pemikirannyapun ikut tiada.
Dua generasi penerusnya; adalah Abd al-Razzak Lahiji dan Mulla Muhsin al-Faidh al-Kasyani yang berhasil merepresentasikan konsep-konsep Shadra. Beberapa karya monumental yang sampai saat ini tetap mendapat perhatian cukup besar para cendekiawan; adalah al-Hikmah al-Muta’aliyah fi al-Asfar al-Aqliyah al-Arba’ah, al-Syawahid al-Rububiyyah fi al-Manahij al-Sulukiyyah, dan al-Mabda’ wa a- Maad. [regards]

Presented For AFKAR

Tidak ada komentar: